1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

170112 Sudan Öl

18 Januari 2012

Sudan Utara dan Selatan terus bersengketa tentang pembagian cadangan minyak di selatan. Sejauh ini tak ditemukan kompromi. Putaran baru perundingan dibuka Selasa (17/01). Jika gagal, konflik baru di depan mata.

https://p.dw.com/p/13lL9
Sudan Selatan membangun platform minyak dekat Kotch, tahun 2005Foto: AP

Sudan Utara dan Selatan memiliki posisi yang berbeda dalam pembagian hasil dari minyak, tetapi masalah mereka sama. Kedua negara tergantung pada minyak dan kehilangan penghasilan dari minyak berarti kehilangan pendapatan yang sangat dibutuhkan. Inilah alasan utama mengapa perundingan tak kunjung sampai pada kesepakatan.

"Kedua Sudan tergantung pada minyak. Di Selatan, 98% pendapatan pemerintah berasal dari sektor minyak. Untuk Utara tidak diketahui angka pastinya, tetapi diperkirakan berkisar 70 - 80%", kata Wolf-Christian Paes. Ia adalah manajer proyek Sudan Selatan pada Bonn International Centre Convertion (BICC), sebuah organisasi riset.

Uang dan kekuasaan

Sejak melepas Selatan, pemerintah di Khartoum mulai merasa gerah. Tidak ada sektor ekonomi lain yang dapat memulihkan kerugian dalam pendapatan valuta asing dan pertumbuhan ekonomi. Menurut Badan Moneter Internasional (IMF), perekonomian Sudan Utara menyusut 0.4% tahun ini.

Tetapi ini bukan hanya perkara uang melainkan juga kekuasaan. Ada sejumlah isu yang tak bisa diselesaikan kedua Sudan, sejak Selatan memutuskan untuk berpisah. Dan masalah yang tak selesai ini membuat negosiasi tentang minyak menjadi makin sulit.

Kathelijne Schenkel yang bekerja dengan Koalisi Eropa tentang Minyak di Sudan mengatakan, “Negosiasi tentang minyak bukan semata tentang minyak. Tetapi juga menyangkut status wilayah Abyei, apakah termasuk bagian Utara atau Selatan atau bagaimana garis batas internasional antara kedua negara harus ditarik secara permanen. Satu hal bisa ditukar dengan hal lainnya.”

Sulit sepakat

Dalam bahasa yang mudah dimengerti, jika satu pihak misalnya bersedia menarik garis perbatasan, pihak lain mungkin bersedia menerima kompromi berupa pembagian hasil minyak. Di atas kertas, Utara menuntut biaya transit 28 Euro per barel minyak. Sementara Selatan menawarkan nilai 50 kali lebih kecil dari itu, yaitu sekitar 55 sen Euro.

Tampaknya sulit mengharapkan kedua pihak menemukan kesepakatan. Wolf-Christian Paes dari BICC mengatakan, "Negara-negara barat sudah menyatakan kekuatiran pekan-pekan lalu, tetapi mereka tak punya kekuasaan untuk menyelesaikan apapun. Ini merupakan kasus yang berbeda jika Cina terkait, karena kebanyakan perusahaan Cina dan Asia lain mengambil keuntungan dari ekspor minyak. negara-negara ini tidak tertarik bahwa arus minyak terganggu.”

Itu sebabnya mengapa banyak pengamat di barat berharap, Cina dapat mendorong kedua pihak menuju kompromi. Karena jika masalah minyak tidak terselesaikan, konflik baru di wilayah yang sudah bermasalah itu sangat mungkin terjadi.

Daniel Pelz/ Renata Permadi

Editor: Edith Koesoemawiria