1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Sengketa Bahasa Runtuhkan Pemerintahan Belgia

Dyan Andriana Kostermans7 Mei 2010

Kembali masalah bahasa kembali menyulut krisis pemerintahan di Belgia. Kini negara itu berada di ambang pemilu baru. Padahal 1 Juli mendatang Belgia akan mengambil alih jabatan bergilir Ketua Dewan Eropa.

https://p.dw.com/p/NECD
Simbol Bendera Belgia yang dibagi tiga wilayah yakni pengguna Bahasa Vlaam, Perancis dan Jerman di BelgiaFoto: DW

Berbagai pembicaraan dan upaya mencapai solusi gagal dan Senin (26/04) lalu Raja Albert II menerima permohonan pengunduran diri dari Perdana Menteri Yves Laterme. Kini negara itu tengah dihadapkan pada pemilu baru. Padahal tidak sampai dua bulan lagi Belgia akan mengambil alih kepemimpinan bergilir Dewan Eropa. Inilah tema Serba Serbi Eropa kali ini bersama Dyan Kostermans

Seperti yang kerap terjadi sebelumnya, krisis pemerintahan Belgia kali ini dipicu sengketa masalah bahasa di kawasan Wallonie yang berbahasa Perancis dan di kawasan Flandern yang berbahasa Belanda. Di pusat, di antara kedua kawasan tersebut terdapat kawasan Brussel Halle Vilvoorde. Ibukota Belgia itu secara resmi menggunakan dua bahasa, tapi pada prakteknya di Brussel orang lebih sering mempergunakan Bahasa Perancis. Semakin banyak warga berbahasa Perancis dari wilayah Wallonie di selatan Belgia yang pindah ke kawasan Flandern di utara yang berbahasa Belanda. Para pemakai bahasa Perancis yang hijrah ini memperjuangan hak penggunaan bahasanya.

Warga berbahasa Vlaams Belanda di wilayah Flandern mengkhawatirkan karakter Vlaams-nya. Para politisi di wilayah Flandern, antara lain mengupayakan dicabutnya hak penggunaan Bahasa Perancis melalui pengadilan.

Yang juga termasuk front terdepan dalam hal ini adalah Partai Liberal Vlaam, Open VLD. Ketuanya Alexander de Croo tidak melihat lagi adanya landasan kerjasama untuk koalisi lima partai, yang mencakup partai-partai Wallonie maupun Flandern

"Upaya solusi gagal. Kesepakatan yang diambil tidak ditaati. Oleh sebab itu partai liberal Vlaam-Open VLD menari k diri dari pemerintahan."

Betapa kritis dan mencuatnya suasana anti Perancis di wilayah berbahasa Vlaams di Brussel tampak dari ucapan-ucapan berikut

"Ini adalah tanah Vlaam, yang diperjuangkan warga Flandern. Itu alasannya. Dan warga berhasa Perancis tidak memiliki hak bersuara dan sebetulnya juga tidak perlu berada di sini.“

Ungkapan yang tajam juga ditemukan di wilayah berbahasa Perancis. Politisi Wallonie Olivier Maingain memang seorang berhaluan liberal, seperti rekan separtainya de Croo. Tapi dalam tema ini mereka memiliki pendapat yang jauh berbeda. Maingain tidak memuji sikap de Croo

"Itu adalah nasionalisme yang oleh harian besar seperti New York Times saja dinilai sebagai gerakan fasisme tanpa kekerasan."

Sengketa masalah bahasa setidaknya sudah setua negara Belgia yang didirikan 180 tahun lalu.

Secara tradisi lapisan pimpinan Belgia selalu menggunakan Bahasa Perancis dan memandang rendah warga yang berbahasa Vlaams. Memang hak-hak warga berbahasa Vlaams lebih baik dengan federalisasi yang menyeluruh di Belgia. Juga secara ekonomis dan demografis mereka adalah kelompok masyarakat yang lebih besar. Tapi kontradiksi lama selalu muncul kembali. Dan ini bukan isyarat adanya solusi yang cepat.

Apakah negara dalam kondisi krisis seperti ini mampu mengambil alih kepemimpinan bergilir Dewan Eropa 1 Juli mendatang? Juru bicara Komisi Eropa Pi Ahrenkilde menyampaikan sikap optimis

"Kami memiliki kepercayaan yang tidak terbatas, bahwa Belgia akan sepenuhnya mampu mengambil alih tanggung jawab berkaitan dengan kepemimpinan Dewan Eropa."

Tapi apa yang kedengarannya seperti kesimpulan meyakinkan itu juga dapat diartikan sebagai tuntutan mendesak yang ditujukan kepada para politisi Belgia, agar mengupayakan hubungan yang jelas sebelum 1 Juli. Yang tentu saja berarti agar tercipta pemerintahan yang stabil selama setengah tahun.

Itu akhirnya menyangkut pertanyaan, apakah Belgia sebagai negara memiliki masa depan. Dalam jajak pendapat untuk harian Belgia "Le Soir" hampir 22 persen menyatakan untuk pemisahan kedua wilayah di negara tersebut. Yakni wilayah Flandern berbahasa Belanda, di utara Belgia dengan wilayah Wallonie berbahasa Perancis di Selatan. Namun suara lebih besar mendukung perluasan federalisasi artinya untuk semakin diperkuatnya negara-negara bagian atas biaya pusat. Meskipun demikian pakar sejarah Belgia Dirk Rochtus tetap bersikap tenang, jika menyangkut kemungkinan masa depan bagi Belgia

„Jika Belgia akan didesentralisasi atau bahkan suatu hari sampai terpecah, saya berpendapat kami masih tetap di dalam Uni Eropa. Saya selalu mengatakan, jika telur Belgia pecah, kami dapat dikatakan masih tetap berada di telur dadar Eropa.“

Mantan Presiden Perancis Charles de Gaulle dengan memandang penyatuan Eropa menyebut Eropa sebagai Bapak Bangsa-Bangsa dan mengatakan, dari kulit telu yang keras orang tidak akan dapat membuat telur dadar. Juga jika sejak ucapannya pada tahun 1962 itu banyak terjadi perubahan, kini pun sebagian besar politisi Eropa menolak gambaran Eropa sebagai telur dadar.

Christoph Hasselbach/Dyan Kostermans

Editor: Asril Ridwan