1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Sengketa Bahasa di Belgia Menjengkelkan Warga

31 Juli 2008

Belgia tidak berbicara dengan satu bahasa. Warga Vlaams dan Wallonie terlibat sengketa bahasa, yang menghambat gerak Belgia di bidang politik. Warga kota Brussel yang menguasai dua bahasa jengkel.

https://p.dw.com/p/Enxw
Tajamnya sengketa bahasa di Belgia. Penunjuk jalan berbahasa Perancis dicoret di daerah berbahasa Belanda.Foto: AP

'Bruxelles Plage', pantai buatan di bagian kota tua Brussel, berupa jalur pasir di pinggir sungai, merupakan tempat yang selalu ramai dikunjungi pada malam hari. Baik warga yang berbahasa Belanda maupun yang berbahasa Perancis di kota itu datang ke sana untuk menikmati makanan dan minuman di berbagai kedai. Topik pembicaraan mereka sering menyangkut soal politik di Belgia.

Belum lama berselang krisis pemerintahan berhasil dicegah. Raja Belgia Albert II menolak permohonan PM Yves Leterme untuk mengundurkan diri. Masalahnya reformasi konstitusi yang diajukannya gagal akibat sengketa berkesinambungan antara warga yang berbahasa Belanda dan yang berbahasa Perancis.

Warga Vlaams menginginkan otonomi lebih luas untuk wilayah mereka yang perekonomiannya sedang maju. Begitu pula warga Wallonie terkesan sedang mencari alternatif bagi bentuk negara selama ini. Berdasarkan jajak pendapat yang dipublikasikan beberapa hari lalu oleh harian Belgia, LE SOIR, sebanyak 49 persen warga Wallonie ingin agar wilayah selatan Belgia yang berbahasa Perancis, bergabung dengan negara Perancis. Itu sangat konyol, kata Lore, seorang perempuan Vlaams. Menurut dia keinginan warga Wallonie itu bisa jadi bahan tertawaan.

"Konyol sekali. Dalam 50 tahun terakhir, wilayah Vlaams memberikan bantuan finansial bagi wilayah Wallonie, dan menggerakkan perekonomian di sana. Bagi saya patut dipertanyakan apakah hasil jajak pendapat itu memang dapat dipercaya."

Carole, perempuan di sebelahnya jengkel mendengarkan diskusi itu. Dikatakannya:

"Saya merasa jadi korban diskusi soal politik seperti ini. Semua dilihat dari kacamata sengketa bahasa itu, padahal banyak masalah yang lebih penting seperti soal ekonomi. Kita terus terperangkap dalam sengketa bahasa dan ini benar-benar menyedihkan."

Ben, seorang pemuda juga muak dengan sengketa itu. Rasa bangga menjadi orang Belgia lenyap karena soal bahasa tsb. Dia dapat saja membayangkan pemisahan antara wilayah Vlaams dan Wallonie.

"Bagi saya tidak masalah bila Vlaams, Wallonie dan Brussel memisahkan diri. Satu-satunya yang masih mempersatukan kita adalah kerajaan. Saya setuju bila wilayah Wallonie ke Perancis saja dan Brussel juga."

Bila jajak pendapat itu hendak dipercaya, nampaknya Perancis juga tidak keberatan dengan skenario seperti itu. Yang jelas 60 persen warga Perancis di perbatasan dengan Belgia tidak keberatan menerima warga Belgia yang berbahasa Perancis. Tetapi Grégoire pemuda asal Paris yang sedang berkunjung ke Brussel sama sekali berbeda pendapat. Dikatakannya:

"Saya orang Perancis. Kami tidak menginginkan orang Belgia. Mereka hendaknya tetap berada di negeri mereka sendiri. Belgia adalah sebuah bangsa sendiri. Jangan dicampur-baurkan. Mereka tidak perlu membawa masalah bahasa dan regional mereka ke Perancis."

Satu-satunya jalan keluar adalah bila semua warga Belgia menguasai kedua bahasa yang digunakan. Dan dalam hal ini semua yang terlibat pembicaraan, sepakat. (dgl)