1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Satu Tahun Penghancuran Protes Rakyat Birma

24 September 2008

Rejim Myanmar bebaskan 9,002 tahanan Selasa (22/9) dalam pemberian amnesti massal yang terkait pemilihan umum 2010. Bagaimana nasib demokrasi di Myanmar, mengingat penghancuran protes September hari ini, satu tahun lalu?

https://p.dw.com/p/FOAk
Para biksu melakukan protes di dukung rakyat BirmaFoto: AP

Birma, awal September 2007: para biksu melanjutkan aksi protesnya terhadap rejim militer Myanmar atas kenaikan harga BBM dan pangan. Status biksu yang terpandang di masyarakat Birma mendorong junta untuk menahan diri.

Marc Farmaner, pengamat Birma di Inggris masih menerangkan: “Bagi rejim militer sangat sulit mengatasi protes para biksu, karena berbeda sekali dengan menangkap dan menyiksa masyarakat sipil. Rejim tak dapat begitu saja menembak para biksu, atau memenjarakan mereka dan kemudian menyiksa mereka.”

Selain dipantau pengamat luar negeri, perkembangan protes itu mempengaruhi masyarakat luas di Birma. Minggu-minggu berikutnya, keberanian masyarakat tergugah. Di seluruh penjuru Birma, rakyat mulai turun ke jalan. Hingga berlangsung demonstrasi terbesar selama 20 terakhir, pada 24 September di ibukota Yangun. Puluhan ribu orang mendukung protes para biksu ini. Pengamat menyebutkan jumlahnya lebih dari seratus ribu orang.

Di pihak lain, pemerintah Myanmar yang selama ini tampak diam, ternyata telah merampungkan strategi yang melibatkan pihak polisi, militer dan pemadam kebakaran. Melalui pengeras suara para demonstran diminta untuk bubar. Ketakutan bahwa protes akan dilibas merayap tumbuh di mata dunia.

Aung Naing Oo, warga Birma dalam pengasingan di Thailand, memperingatkan: “Situasi bisa meruncing dengan cepat. Kita sudah melihat, pasukan keamanan dan tentara bersiap dan hanya menunggu isyarat untuk bergerak. Suasana begitu panas, letupan kecil bisa memicu ledakan”.

Meski sudah diperingatkan, sehari kemudian para biksu melanjutkan protesnya. Kembali diikuti puluhan ribu pendukung. Hari berikutnya, 26 September, tangan besi junta di Birma memukul keras.

Di malam hari, tentara menyerbu biara-biara dan menangkapi ratusan demonstran. Pintu-pintu Pagoda dipalang. Di jalanan, tentara yang siap tembak, berpatroli. Pemerintah Myanmar memberlakukan jam malam dan melarang berkumpulnya lebih dari lima orang.

Aung Zaw, pendiri majalah internet, Irrawady News yang bermarkas di Thailand, menggambarkan situasi di Yangun: “Saksi mata melaporkan tembakan peringatan, demonstran yang diburu karena melanggar jam malam. Sambungan telepon diputus dan sejak semalam, tokoh-tokoh oposisi ditangkapi. Rumah mereka digeledah dan banyak orang yang dihilangkan.”

Pada tanggal 27 September, massa kembali turun ke jalan mengabaikan larangan berkumpul. Dalam sekejap pasukan keamanan menyerang demonstran dengan pemukul dan semprotan air, penembakan pun terjadi. Saksi mata menyebutkan, seorang wartawan Jepang ditembak di kepalanya.

Junta Myanmar menyebutkan 10 orang tewas. Namun Duta Besar Australia di Birma menyatakan, jumlah korban jauh lebih besar. Laporan independen menyebutkan, sekitar 200 orang tewas. Dengan begitu, kandaslah harapan. Reformasi ekonomi dan politik Birma diterpa gelombang penangkapan dan penghancuran oposisi yang tak terhentikan. (ek)