1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Satu Tahun Larangan Burka di Perancis

10 April 2012

Satu tahun lalu di Perancis diberlakukan larangan penggunaan burka. Tapi bagaimana kehidupan perempuan pengguna burka di Perancis sejak itu?

https://p.dw.com/p/14aIU
Illustration of women wearing full Islamic veil ( Burka or Niqab ) on Avenue Montaigne in Paris, France on July 7, 2010 as France may ban women from wearing burka in public, a law banning face-covering in public places will be submitted to parliament. Photo by ABACAPRESS.COM
Foto: picture alliance/abaca

Mabrouka tinggal dengan anak perempuannya yang berusia dua tahun di kawasan utara di luar Paris. Keduanya melewatkan banyak waktu di sana dan sangat jarang meninggalkan rumahnya itu. Mabrouka adalah salah satu dari sekitar 2000 perempuan di Perancis yang menggunakan burka atau nikab. Sejak satu tahun burka dilarang di Perancis.

Hanya sekali-kali perempuan berusia 30 tahun itu berani keluar ke jalan untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari di toko dekat rumahnya. Ia selalu menggunakan burka dan setiap kali mengambil risiko membayar denda 150 Euro atau mendapat perintah untuk mengikuti kursus integrasi.

Dikatakan Mabrouka, polisi pura-pura tidak melihat jika ia dan anaknya pergi berbelanja. Sebaliknya di kantor banknya, ia diberitahu bahwa orang tidak ingin melihat ia masuk dengan menggunakan burka. Jadi Mabrouka harus melimpahkan surat kuasa rekening banknya kepada suaminya.

Sarah Morvan, 18, muslimische Frau, und Tochter, Aubervilliers, Vorort von Paris, April 2011 DW/Beardsley
Perempuan pemakai burka di Perancis (April 2011)Foto: DW

Larangan penggunaan burka disahkan 11 April 2011 oleh pemerintah konservatif kanan dari Presiden Sarkozy, dengan harapan memajukan keamanan dan persamaan jender serta melindungi harga diri perempuan. Tapi bagi mereka yang tetap bersikeras mengenakan burka, yang terjadi justru sebaliknya.

Mabrouka mengatakan, dengan larangan penggunaan burka tersebut ia kehilangan kebebasannya dan kini jauh lebih bergantung pada suaminya. "Baru sekarang saya jadi bergantung sedemikian rupa", kata Mabrouka kepada DW. "Sebelum nikah saya lima tahun lamanya bekerja. Dulu saya juga memakai burka dan menggunakan kendaraan umum, banyak bepergian atau pergi bersama teman-teman saya. Kini saya harus puas tinggal di dalam rumah dan tidak melakukan apa-apa."

Meskipun larangan penggunaan burka banyak mengundang perdebatan dan topik pembicaraan, hanya sedikit perempuan yang benar-benar terkena dampaknya. Menurut keterangan kementerian kehakiman Perancis, pada enam bulan pertama setelah dikeluarkannya larangan tersebut, hanya sekitar 100 kasus yang memaksa polisi turun tangan. Sekitar 10 dari kasus itu berakhir di pengadilan.

Wahl-Plakat in Paris Saint Denis, 30. März 2012 Copyright: DW/Joanna Impey ***Bitte nur in Zusammenhang von einem Bericht über das Burka-Verbot verwenden***
Larangan burka di PerancisFoto: DW

Misalnya Hid Ahmas dan Najate Nait Alit. Mereka masing-masing harus membayar denda 120 Euro dan 80 Euro, setelah polisi mencekal mereka di dekat kantor walikota Meaux di timur Paris. Mereka sedang menuju kantor walikota Meaux Jean Francois Cope, untuk memberikan kue tar ulang tahun kepada sang walikota. Cope dikenal sebagai perancang larangan penggunaan burka. Sebaliknya Ahmas dan Ali mengatakan, bahwa larangan itu melanggar peraturan untuk kebebasan pribadi dan kebebasan beragama, dan jika perlu akan membawa kasus itu sampai ke Mahkamah Pengadilan Eropa.

Tidak ada dukungan politik untuk pencabutan larangan

Mayoritas warga muslim di Perancis tidak menggunakan burka. Perancis yang memiliki sekitar 9 persen warga muslim, merupakan negara dengan populasi muslim terbesar di seluruh Eropa Barat. Kebanyakan warga muslim ini datang dari bekas koloni Perancis seperti Aljazair, Marokko dan Tunisia.  Para imigran sering mendapat kesulitan dengan prinsip sekularisme di Perancis, yang memisahkan secara tegas gereja dan kehidupan publik. Sebuah prinsip yang oleh spektrum politik secara luas dijunjung tinggi.

Mantan menteri urusan tata kota Fadela Amara keturunan Aljazair, dan melukiskan burka sebagai "seperti suatu makam, horor bagi setiap orang yang terperangkap di dalamnya." Tapi di kalangan lawan politik Sarkozy pun hanya sedikit dukungan untuk mencabut larangan tersebut. Sekularisme adalah salah satu dari segelintir prinsip yang masih memiliki haluan senada dari politik kiri yang terpecah.

Noura Jaballah, President of the European Forum of Muslim Women, Paris, 29. März 2012. Copyright: DW/Joanna Impey ***Bitte nur in Zusammenhang von einem Bericht über das Burka-Verbot verwenden***
Noura JaballahFoto: DW

Oleh karena itu Noura Jaballah, ketua forum Eropa untuk perempuan muslim tidak yakin bahwa situasinya akan berubah, jika kandidat kubu sosialis Francois Hollande keluar sebagai pemenang pemilihan presiden mendatang. "Perancis sangat sensitif jika menyangkut masyarakat muslim," kata Jaballah kepada DW. "Orang-orang merasa takut terhadap apa yang disebut muslim merakit bom, dan bersikap agresif. Walaupun itu hanya meliputi sekelompok minoritas yang makin menipis."

Serangan di Toulouse Memperbesar Ketakutan

Ketakutan ini menguat bulan lalu, ketika di Toulouse tersangka pengikut al Qaida menewaskan tujuh orang dalam sejumlah serangan. Serangan itu berdampak berbagai aksi operasi kepolisian terhadap para islamis di seluruh Perancis.

Jaballah berusaha menghapus stereotype terhadap perempuan muslim dalam masyarakat Perancis dan menjadi jembatan antara pertentangan yang diduga terjadi diantara berbagai pihak. Ia sendiri tidak mengenakan burka melainkan hanya tutup kepala. Meskipun Jaballah bersikap kritis terhadap larangan pemakaian burka tersebut, ia meminta seluruh warga muslim di Eropa untuk mempraktekkan kepercayaannya sedemikian rupa agar dapat beradaptasi dengan konteks Eropa.

Joanna Impey/Dyan Kostermans

Editor: Vidi Legowo-Zipperer