1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sastra

Sastra Tanpa Lembaran Rupiah

21 Oktober 2016

Sejak menjadi tamu kehormatan di Pameran Buku Frankfurt 2015 silam, Indonesia rajin mempromosikan sastra nasional di luar negeri. Upaya itu disokong oleh Litri, dana penerjemahan pemerintah, yang ironisnya minim dana.

https://p.dw.com/p/2RWDy
Frankfurter Messe 2016 Indonesien
Gerai Indonesia di Pameran Buku Frankfurt 2016, Jerman.Foto: DW/L. Nadjimova

"Suara kita perlu disampaikan," kata Direktur Litri, Anton Kurnia, dalam sebuah wawancara. Sebab itu "penerjemahan sastra kita penting untuk memperkenalkan karya kita kepada dunia."

Kesempatan tersebut muncul di arena Pameran Buku Internasional Frankfurt, Jerman. Sejak menjadi tamu kehormatan tahun silam, Indonesia mulai dilirik penerbit asing sebagai lahan menggali cerita. Terutama kehadiran penulis muda seperti Lakshmi Pamuntjak, Leila S. Chudori atau Eka Kurniawan yang tidak jengah bersinggungan dengan isu-isu sensitif bisa memperkuat daya pikat sastra nusantara.

Tapi berbeda dengan tahun lalu yang riuh, kali ini Indonesia tampil sederhana di Frankfurt Book Fair. Selain gerai nasional yang didesain modern menyerupai sawah terasering oleh duo Avianti Armand dan Andro Kaliandi, Indonesia cuma memiliki sebuah tenda kecil sebagai tempat pertunjukan.

Lewat lembaga penerjamahan itu, nantinya penerbit asing bisa meminta dukungan dana penerjemahan untuk karya-karya yang telah dibeli hak terbitnya. Insiatif tersebut diusung oleh Komite Buku Nasional sebagai bagian dari program promosi.

Terkendala Birokrasi

Tapi sebagaimana lazimnya, dana menjadi kendala terbesar mempromosikan sastra Indonesia di dunia. Rumitnya birokrasi di level pemerintah membuat promosi budaya lewat aksara itu sering terhambat.

Anton Kurnia misalnya mengklaim Litri kehilangan lebih dari 50% anggaran yang sudah dijanjikan tahun lalu. Hasilnya "penerjemahan buku yang bisa kami danai menjadi berkurang," tutur Anton. Dari 200 judul buku, Litri cuma mampu mendanai lima penerjemahan.

"Persoalannya ada pada teknis birokratis," kata Anton. Meski pemerintah berpandangan sama soal promosi sastra, "mereka belum bisa melepaskan diri dari aturan-aturan" yang mengikat tersebut, tambh direktur Litri itu.

Keberadaan Litri dinilai penting oleh banyak pihak. Pasalnya "menerjemahkan 200 halaman ke dalam bahasa Inggris menelan biaya sangat besar. Sementara kita tidak tahu bukunya laku apa tidak," kata Sari Meutia, Direktur Utama Mizan Group.

"Kita sangat membutuhkan penerjemahan sastra. Jadi setelah diterjemahkan ke bahasa Inggris misalnya, penerbit asing bisa lebih mudah mempelajarinya dan mengapresiasi karya tersebut," kata Siti Gretiani, Direktur Utama Gramedia. Dari sekitar 2000 judul yang diterbitkan rumah cetak terbesar Indonesia itu, tidak sampai 10% yang diadaptasi ke dalam bahasa asing.

rzn/as