1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

RUU Intelijen Disahkan

11 Oktober 2011

Tanpa banyak interupsi Rancangan Undang Undang Intelejen negara disahkan, Selasa (11/10). Koalisi masyarakat sipil akan minta pembatalan UU itu kepada Mahkamah Agung.

https://p.dw.com/p/12q6j
Foto: AP

Rancangan Undang Undang Intelejen yang masih dibelit kontroversi disahkan dalam rapat Paripurna DPR, Selasa (11/10). Meskipun bahkan saat membacakan laporannya, wakil Ketua Komisi Pertahanan DPR Agus Gumiwang Kartasasmita, mengakui masih banyaknya penolakan atas sejumlah pasal. Seperti soal kewenangan penyadapan, pemeriksaan aliran dana, serta aturan penggalian informasi secara mendalam.

Sejumlah kewenangan itu diberikan sebagai ganti setelah DPR menolak usulan pemerintah untuk memberi kewenangan intelejen melakukan pemeriksaan intensif dan penangkapan. Menurut Agus Gumiwang, kewenangan itu diperlukan intelijen untuk menggali informasi secara cepat demi keamanan nasional. Ketua Panja RUU intelejen Gumiwang juga mengungkap sejumlah pasal yang ditujukan untuk mengontrol kewenangan intelejen: “RUU intelijen ini mengatur mengenai pemberian rehabilitasi, kompensasi dan restitusi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan kepada setiap orang yang dirugikan akibat pelaksanaan fungsi intelejen. Sedangkan pengawasan eksternal, penyelenggaran intelejen negara dilakukan oleh Komisi di DPR yang menangani bidang intelejen, dengan membentuk tim pengawas tetap yang terdiri atas perwakilan fraksi dan pimpinan komisi DPR”

Kepala BIN: "Tak Pelu Khawatir"

Jaminan juga datang dari Kepala Badan Intelejen Negara Sutanto, menanggapi kecemasan publik terhadap kemungkinan penyelewengan intelijen mengingat besarnya kewenangan yang dimiliki. Kepala BIN Sutanto. “Saya memahami kekhawatiran itu, tentu karena masa lalu, ada bias-bias. Tapi dengan Undang Undang ini kan sudah ada rambu-rambunya. Tidak akan terjadi seperti itu, karena ada sanksi hukum, kalau misalnya penyadapan katakanlah bukan digunakan petugas untuk pengamanan negara. Jadi tidak usah khawatir, apalagi pengawasan dari DPR juga kuat. Sehingga yang dibuat ini jangan sampai ada hal-hal yang bertabrakan dengan hukum, hak asasi manusia dan sebagainya, Itu sudah dipikirkan sebelumnya.”

Bagaimanapun sejumlah aktivis sosial dan pegiat HAM memandang ada sejumlah pasal dan kewenangan dalam Undang Undang itu, yang bisa mengancam warga sipil terutama kelompok yang kritis terhadap pemerintah. Misalnya pasal pidana untuk pembocor rahasia negara yang masih multi tafsir. Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Haris Azhar.

“Pasti akan ada banyak orang yang sudah mulai jadi korban, dari wewenang intelijen yang dipaksakan itu. Mungkin ada orang yang akan dipanggil karena mau digali informasinya. Mungkin ada orang yang disadap. Mungkin banyak pengusaha yang akan ditrabas rekening rekeningnya. Dan nanti mungkin akan ada banyak orang yang dengan gampangnya ditangkap karena dianggap memiliki atau menyebarkan rahasia intelejen”

Kelompok Jurnalis Ungkap Kecemasan

Kecemasan juga dinyatakan kelompok jurnalis yang khawatir, Undang Undang intelijen ini akan menjadi dasar kriminalisasi pers. Menurut Sekjen Aliansi Jurnalis Independen, Jajang Jamaludin, ancaman itu terdapat dalam pasal 26 yang memuat pidana 10 tahun bagi pembocor rahasia intelijen yang kriterianya masih sangat luas. “Karena tidak ada pengecualian kan, siapa yang membocorkan disitu apakah termasuk juga untuk kepentingan (hak) publik untuk tahu. Disitu sangat umum pasalnya dan sangat lentur. Kalau misalnya saja itu dipakai untuk manuver dengan ruang yang sangat luas seperti itu, memberitakan apapun yang sepanjang mereka menganggap atau diklaim akan membahayakan urusan intelijen jurnalis bisa kena”

Dengan semua kecemasan itu, sejumlah pegiat sosial dan HAM yang tergabung dalam koalisi masyarakat sipil memastikan akan segera meminta Mahkamah Konstitusi membatalkan Undang Undang yang masa kadaluarsanya hingga 25 tahun kedepan ini dengan mengajukan uji materi.

Zaki Amrullah

Editor: Dyan Kostermans