1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Revolusi Demokrasi di Mesir Harus Didukung

1 Februari 2011

Aksi pembangkangan rakyat di Mesir hendak membuka perspektif masa depan baru di negara tsb. Namun juga tersembunyi bahaya dari gerakan bagi kebebasan di kawasan Afrika Utara itu.

https://p.dw.com/p/108en
Rakyat terus melakukan pembangkangan dan aksi protes untuk mendesak Hosni Mubarak lengser.Foto: AP

Perkembangan situasi di Mesir tetap menjadi sorotan dalam tajuk sejumlah harian internasional.

Harian Italia La Repubblica dalam tajuknya lebih menyoroti perananan Amerika Serikat di kawasan tsb. Presiden AS, Barack Obama kini hendak mengenakan sepatu lari, dan bukan lagi sepatu dari timah, seperti tudingan tokoh pro-demokrasi Mesir, pemenang hadiah Nobel Perdamaian, Mohammed el Baradei. Tujuannya untuk secepatnya mengarahkan Mesir ke zaman pasca Mubarak. Obama dapat dan tidak mau terbawa pusaran arus, yang tercipta ketika seorang penguasa dan rezimnya karam. Selain itu, terlihat bahwa Mesir setelah 30 tahun kemunduran ekonomi dan kemasyarakatan, kini benar-benar ingin menghirup angin kebebasan. Sebuah angin segar yang akan didukung oleh semua presiden AS, terutama jika dengan itu terdapat dampak tambahan, lawan politik Washington dapat terimbas. Namun disarankan berhati-hati di Mesir, karena Iran sudah mengharapkan munculnya republik Islam baru.

Juga harian Swiss Basler Zeitung dalam tajuknya menulis komentar yang menyoroti peranan AS dalam gerakan revolusi di Mesir. Pembangkangan rakyat menentang rezim yang dibenci di Mesir itu, memaksa Washington menerapkan kontradiksi dalam politik luar negerinya. Terkejut oleh peristiwa di Kairo, Obama yang sebelumnya menjadi tokoh harapan dunia, tidak menunjukkan sosok panutan. Dengan terlambat dan memalukan, baru pada akhir pekan yang lalu Washington menjaga jarak dengan Mubarak. Sekarang, seruan untuk transisi teratur, paling tidak mencerminkan ketakutan AS, menyangkut situasi yang dapat muncul setelah tumbangnya rezim di Mesir itu.

Harian konservatif Swedia Svenska Dagbladet juga dalam komentarnya secara senada mengkaitkan perspektif aksi pembangkangan rakyat di Mesir itu dengan politik luar negeri AS. Jatuh satu, jatuh semua. Itulah teori domino. Mula-mula aksi perlawanan rakyat yang sukses di Tunisia. Kemudian aksi protes di Marokko, Yaman, Yordania dan kini rezim di Mesir di ambang tumbang. Tapi bukan hanya kekuatan demokratis yang menanti tumbangnya kartu domino berikutnya. Di Gaza ada Hamas, di Libanon ada Hizbullah, dimana-mana ada sedikit Al Qaida dan di Mesir terdapat Ikhwanul Muslimin. Di zaman perang dingin, AS tidak ingin kalah, dan mendukung para rezim di Asia Tenggara dengan bantuan militer. Di dunia Arab, modelnya adalah membantu rezim yang moderat secara ekonomi dan militer, agar di negaranya meraih kekuasaan absolut. Semua itu harus diakhiri. Sekarang demokrasi yang memerlukan bantuan.

Terakhir harian liberal kiri Perancis Liberation berkomentar : Jika di bawah sudah tidak ingin dan di atas sudah tidak mampu, revolusi akan menang. Rakyat Mesir sudah menyatakan, tidak ingin lagi, dengan kekuatan dan keberanian luar biasa. Militer Mesir sudah menyatakan, mereka tidak dapat berbuat apa-apa lagi, dengan pengertian, militer merasa sedikit terpaksa. Inilah saatnya, merayakan kepahlawanan rakyat biasa. Yang membuat tirani gemetar dan sejarah dirombak total. Dari kawasan Arab secara mengejutkan muncul cahaya terang. Kita mengalami zaman terbitnya matahari.

Agus Setiawan/dpa/afp

Editor : Andriani Nangoy