1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Remaja Berlatar Belakang Migran dalam Sistem Pendidikan di Jerman

30 Maret 2009

Sistem pendidikan di Jerman terkenal sebagai salah satu yang terbaik di dunia. Dari sini dilahirkan para ilmuwan atau insinyur kenamaan. Akan tetapi, tidak semua penduduk yang bermukim di Jerman dapat menikmatinya.

https://p.dw.com/p/HMfu
Suasana kelas satu sekolah menengah di Leipzig, dengan 35 persen murid berlatar belakang migranFoto: picture-alliance/ dpa

Terutama para pria remaja berlatar belakang migran, mereka memiliki citra umum sebagai kelompok yang kalah dan gagal dalam pendidikan di Jerman. Dalam arti, jarang yang dapat menyelesaikan sekolah menengah atasnya. Di sekolah tinggi dan universitas Jerman, remaja pria berlatar belakang migran adalah kelompok minoritas. Dewasa ini para pakar pendidikan dan aktivis kegiatan sosial berusaha membantu kelompok remaja bermasalah ini.

Jika pada tahun 60-an, yang terkenal sebagai kelompok yang kalah dalam dunia pendidikan di Jerman adalah para remaja perempuan dari keluarga Katholik di pedesaan, sekarang situasinya berubah. Remaja pria dari keluarga berlatar belakang migran merupakan kelompok pecundang dalam bidang pendidikan di Jerman. Demikian diungkapkan Professor Vera King, pakar pendidikan Jerman yang mengumpulkan pengalamannya dari praktek nyata di bidang kerja sosial bagi para remaja.

Dalam sebuah konferensi yang diselenggarakan Akademi Protestan Loccum didiskusikan penyebab kegagalan para remaja dengan latar belakang migran dalam sistem pendidikan Jerman. Khususnya disoroti situasi para remaja itu dan keluarganya.

Andreas Schiemann, dari perhimpunan Protestan bagi remaja, tahu persis situasi semacam itu. Ia berkiprah untuk memungkinkan remaja-remaja tanpa ijazah sekolah menengah, juga dapat memiliki kualifikasi kerja. Saat ini perhimpunan tersebut mengembangkan cara tersendiri: “Kami memiliki pengalaman dalam kelas campuran lelaki dan perempuan dengan seorang guru perempuan, anak lelaki biasanya merasa terkucilkan. Selain melontarkan omong kosong, tidak ada lagi yang dapat mereka kerjakan. Juga mereka merasa tidak percaya diri dalam pelajaran. Sebab, jika mereka melakukan kesalahan, anak-anak perempuan akan tertawa riuh. Kami lalu memisahkan mereka, dalam kelas pelajaran matematika hanya untuk perempuan dan hanya untuk lelaki. Nyatanya hal itu berfungsi. Murid lelaki yang juga diajar guru lelaki, berpartisipasi aktif dan juga mau menerima pertolongan.“

Provokasi atau bergaya dibuat-buat, merupakan kenampakan egoisme yang melembung, yang menutupi kelemahan diri sendiri. Itulah ciri khas semua remaja lelaki, terutama di masa puber, terlepas dari asal usul maupun kebangsaan mereka. Akan tetapi apa yang disebut “jantan“, definisinya berbeda tergantung latar belakang budayanya. Bagi para remaja dengan latar belakang migran, hal ini semakin menyulitkan mereka. Demikian diungkapkan psikolog dari pusat kedokteran-ethno di Hannover, Ahmet Kimil.

“Lelaki dalam masyarakat tradisional melambangkan kekuatan. Jadi mereka harus kuat dan mampu memberi makan keluarganya. Bagi generasi pertama kaum migran di Jerman, terdapat sejumlah pabrik di mana mereka dapat bekerja, juga tanpa bekal pendidikan memadai. Sementara generasi kedua atau ketiga, yang gagal dalam pendidikan, tentu saja menghadapi masalah. Karena tidak ada lagi peranan bagi mereka dalam masyarakat. Secara psikologis hal itu amat berat. Muncul perasaan marah, geram dan kita bukan bagian dari masyarakat ini. Dampaknya para remaja ini cenderung lebih sering melakukan kekerasan atau menjadi pemakai narkoba. Atau juga masalah lainnya termasuk problem psikis.“

Pengalaman lainnya diungkapkan oleh Marita Bell, yang bertugas di sebuah sekolah kejuruan di negara bagian Jerman-Niedersachsen. Bell berusaha dengan segala cara untuk mendisiplinkan para siswanya. Ia menetapkan batasan. Secara konsekuen mengatakan tidak. Dan membuktikan kata-kata dengan perbuatan. Menghadapi anak-anak dengan latar belakang budaya oriental, Marita Bell menceritakan pengalamannya:

“Dan kadang-kadang jauh lebih baik, jika saya melibatkan ayah siswa. Memang beberapa orang ayah harus dipanggil tiga atau empat kali, sampai dia datang ke sekolah dengan ogah-ogahan. Tapi jika para siswa tahu, bahwa saya memanggil ayahnya untuk bekerjasama, dalam tempo amat cepat terlihat perubahan.“

Akan tetapi, kadang-kadang otoritas ayah juga tidak mempan. Terutama jika para remaja dengan latar belakang migran memandang ayahnya sebagai orang yang lemah. Dalam situasi semacam ini, seringkali penghormatan terhadap orang tua juga tidak ada. Karena itu amat penting juga bagi tatanan kemasyarakatan, agar para remaja berlatar belakang migran ini memiliki teladan kejantanan dan peluang di luar lingkungan keluarga. Sebab, rasa frustrasi dalam jangka panjang juga amat berbahaya. Psikolog dari pusat kedokteran-ethno di Hannover, Ahmet Kimil menjelaskan:

“Saya pribadi mengalaminya dalam hidup saya. Saya harus melawan prasangka buruk dari keluarga saya sendiri. Ini merupakan perjuangan besar. Di sisi lainnya, kadang-kadang saya juga harus menghadapi prasangka dari sekolah dan dari tempat kerja. Kita harus benar-benar membela dan mengamati para remaja ini. Apa potensi mereka? Kita harus memotivasi, memberikan perasaan bahwa mereka tidak sendirian. Tapi di sisi lain, kita juga harus menjelaskan, bahwa mereka harus menentukan sendiri di mana posisinya dalam masyarakat ini.“

Tema remaja dengan latar belakang keluarga migran, terkait dengan sistem pendidikan dan integrasi di Jerman, sejauh ini tetap merupakan persoalan pelik yang sulit dipecahkan. Penyebanya juga beragam. Tuntutan zaman yang berubah amat cepat, dengan persyaratan latar belakang pendidikan yang memadai, membuat remaja migran yang gagal di sekolah akan semakin tertinggal. Sementara nilai budaya yang berbeda atau bahkan bertentangan, antara tatanan kehidupan kemasyarakatan sehari-hari dengan yang diterapkan dalam keluarga, juga menghambat integrasi generasi kedua atau ketiga dari keluarga migran. Terjadi reaksi berantai dengan akibat amat merugikan. Dari mulai kegagalan pendidikan dan integrasi yang berujung pada kegagalan di semua lini kehidupan. Pada akhirnya, para remaja pria berlatar belakang migran di Jerman tetap akan menjadi kelompok yang kalah, jika tidak mampu mengadaptasi dan mengikuti sistem pendidikan yang berlaku di negara ini. (as)