1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Regenwald Serie 05

Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan atau Gerhan, sejak 2004 dilaksanakan di Kabupaten Biak Numfor-Provinsi Papua. Meski begitu, jumlah areal hutan kritis di Biak terus bertambah.

https://p.dw.com/p/QB4w
Bencana longsor kerap mngintai akibat rusaknya lahan hutanFoto: picture-alliance/Photoshot

Kabupaten Biak Numfor, salah satu dari 20 kabupaten/kota yang ada di propinsi Papua. Letak kepulauan ini di utara daratan Papua. Wilayah perairannya lebih luas dari daratan. Wilayah kabupaten yang berpenduduk 100 ribu jiwa lebih ini tersebar di 10 distrik, dengan luas total 2 ribu km persegi. 92%, awalnya berupa hutan lebat.

Lahan Kritis Terus Bertambah

Sebagian dari hutan itu, kini menjadi lahan kritis, terluas terletak di kawasan distrik Biak Timur, Biak Barat dan Biak Utara. Aparat desa, pimpinan marga dan masyarakat di Biak Timur menyebut, kerusakan hutan itu sejak akhir tahun 70-an hingga akhir 80-an, oleh 2 perusahaan kayu. Yaitu PT Jati Pura dan PT Barito Pasifik Timber. Kepala Desa Wadibu Distrik Biak Timur, Alfons Ronsumbre menuturkan, kedua perusahaan di ”backup” militer saat itu, sehingga masyarakat sulit mencegahnya.

Akibatnya tahun 2004, Dinas Kehutanan mencatat seluas 17 ribu hektar lebih di Biak Numfor berubah menjadi lahan kritis dan tidak produktif. Dua tahun kemudian, luas lahan kritis itu meningkat 300%, menjadi 60 ribu hektar lebih. Demikian disebutkan Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Biak Numfor, Andarias Lameky.

Menurut Lameky, rusaknya hutan dan lahan kritis itu sekarang, akibat masih maraknya penebangan hutan, terutama oleh masyarakat di sekitar hutan. Salah seorang warga itu bernama Sem Rumansara, mengaku sadar bahwa pohon di hutang itu dilindungi, dan tidak dapat ditebang. Namun, kata dia, menebang pohon damar terpaksa dilakukannya demi memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya.

Program Rehabilitasi

Sementara pohon terus ditebang, pemerintah daerah Biak Numfor, melalui Dinas Kehutanan, terus merehabilitasi hutan dan lahan, melalui program Gerhan, seperti reboisasi, rehabilitasi hutan rakyat, hutan mangrove hingga pengayaan hutan rakyat. Selama empat tahun, Dinas Kehutanan Biak Numfor bersama ratusan Kelompok Tani Hutan menanam ratusan ribu pohon jenis merbau, bintanggor, matoa, nyaton dan damar. Dananya dari dana reboisasi, APBN, ditambah dana “sharing” 10% dengan pemerintah daerah kabupaten.

Mulai dari pembersihan lahan, pembuatan lubang, air hingga penanaman, seluruhnya dilakukan setiap kelompok tani hutan di sekitar lahan kritis. Setelah penanaman, setiap Kelompok Tani diberi upah. Satu hektar lahan kritis misalnya diupah sekitar 900 ribu rupiah. Pengadaan bibitnya dilakukan oleh dinas kehutanan setempat. Namun tidak semua pohon tumbuh dengan baik.

Tidak Berjalan Efektif

Dari penelusuran di beberapa lokasi Gerhan dan pengakuan sejumlah kelompok tani hutan, pelaksanaan Gerhan itu banyak masalah. Ketua KTH Karwaina Desa Orwer distrik Biak Timur, Erens Rumere, menuturkan, antara lain, tidak sesuainya jenis kayu yang ditanam dengan struktur tanah di lokasiGerhan, sehingga ada yang tumbuh kerdil atau mati.

Sesuai ketentuan Gerhan, masing-masing anggota KTH harus melakukan penyulaman atau mengganti pohon yang mati dengan bibit baru. Akan tetapi biaya penyulaman ini belum turun ke kelompok tani. Seperti di desa Sambofuar Distrik Samofa. Begitu juga dengan biaya pemeliharaan atau perawatannya.

Di Distrik Warsa, persoalannya beda lagi. Naftali Arfusauw, anggota KTH Wafsarak Desa Amoy, mengeluhkan minimnya pengawasan oleh dinas kehutanan setempat. Sehingga di masing-masing lokasi Gerhan, belum diketahui pasti berapa pohon yang tumbuh dan berapa yang mati. Akibatnya, dana Gerhan yang turun, juga tidak transparan. Sementara Simeon Wabiser, Ketua KTH Mnuwar Desa Andey Distrik Biak Utara, mempertanyakan kepemilikan pohon-pohon yang ditanamnya itu.

Masyarakat di sekitar lahan kritis melihat program Gerhan hanya sebatas lapangan kerja. Kesadaran akan pentingnya hutan, tidak merata. Apalagi untuk menanam pohon tanpa imbalan atau upah kerja dari pemerintah.

Masyarakat adat Biak sebenarnya memiliki budaya sasisen yang membatasi masa panen. Seperti panen ikan, kelapa dan termasuk pohon.

Pemahaman Lingkungan Hidup

Ketua Dewan Adat Biak Piter Yarangga mengatakan, di masa lampau pelanggar sasisen diyakini akan mendapat musibah. Namun, menurut Piter Yarangga, budaya sasisen sudah terkikis oleh budaya modern. Sementara untuk menghidupkannya kembali, dewan adat menghadapi kesulitan. Minimnya sinergi antara pemerintah dengan masyarakat, dewan adat, kalangan universitas, gereja dan LSM, juga kendala dalam pelaksanaan Gerhan. Begitu dituturkan Direktur LSM Rumsram Biak, Isak Matarihi.

Lalu bagaimana meningkatkan pengawasan atau monitoring itu? Wakil Ketua DPRD Biak Numfor, Hengky Pontonuwu, melihat masalahnya pada kewenangan atas tugas pengawasan tersebut. Sekalipun ada penyertaan modal 10% dalam bentuk dana ”sharing” dari APBD kabupaten/kota, kata dia, DPRD kabupaten/kota tidak berhak mengawasi pelaksanaan Gerhan. Karena sebagian besar dana Gerhan itu bersumber dari APBN, maka yang wajib mengawasinya hingga ke daerah, adalah DPR RI

Sebagai gerakan moral, Program Gerhan perlu dibenahi. Bukan saja dari segi pengawasan, tapi juga segi pemahaman lingkungan hidup. Bila tidak, Gerhan hanya menghitung hutan dan lahan yang rusak, menghabiskan dana untuk pengadaan bibit dan penanaman, tanpa mampu mengimbangi makin gundulnya hutan.

Radot Gurning/Edith Koesoemawiria

Editor: Yuniman Farid