1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Duterte Unggul Sementara Pemilu Filipina

9 Mei 2016

Rudrigo Duterte yang kontrovesial unggul dalam penghitungan cepat hasil pemilu di Filipina. Hasil quick count menunjukkan perolehan suara “Donal Trump”-nya Filipina ini jauh di depan para kandidat lainnya.

https://p.dw.com/p/1IkTu
Rodrigo Duterte
Foto: picture-alliance/AP Photo/B. Marquez

Duterte kandidat presiden dari Partai Kekuatan Demokratik Rakyat Filipina (PDP-Laban) melaju meninggalkan para pesaingnya. Ia tercatat mendapatkan suara terbanyak dalam hasil penghitungan cepat. dengan mengantungi lebih dari 6,2 juta suara. Di urutan kedua, Grace Poe dari calon independen dengan meraup 3,6 juta suara, disusul Mar Roxas dari partai Liberal di urutan ketiga.

Jutaan warga Filipina mengantri di bawah terik Matahari Senin (09705), untuk memilih presiden baru. Duterte, walikota Davao yang dikenal dengan lelucon seksisnya, berjanji dalam kampanye untuk menghabisi penjahat, memberantas narkoba dan mengakhiri gurita korupsi dalam waktu enam bulan.

Lelah terlilit kemiskinan, kejahatan, korupsi dan pemberontakan para pemilih menginginkan perubahan radikal dalam pemerintahan di Filipina. Kepada Rodrigo Duterte —yang berusia 71 tahun itu--mereka menaruh harap. Dalam hasil-hasil jajak pendapat pemilu, namanya selalu memimpin.

Pendukung Rodrigo "Digong" Duterte
Meski sangat kontroversial, Rodrigo "Digong" Duterte angat populer di masyarakat FilipinaFoto: Reuters/E. De Castro

Janji kampanyenya: membunuh kriminal

Duterte membumbui pidato kampanyenya dengan membanggakan kejantanan pria dan lelucon tidak lucu tentang perkosaan. Duterte memanfaatkan ketidakpuasan rakyat, dan para pemilih tampak mengabaikan kekasaran kalimat demi kalimatnya yang disampaikannya tanpa ragu. Seperti misalnya: "Kepada kamu semua yang memperdagangkan narkoba, dasar kamu anak pelacur, saya akan benar-benar membunuhmu,” demikian celotehannya dalam kampanye hari Sabtu (07/05) yang kemudian disambut gemuruh sorak sorai kerumunan massa di Manila.

"Saya tidak sabaran, saya tidak setengah-setengah, kalau tidak Anda membunuh saya atau saya akan membunuh Anda ..hei idiot… "ujarnya. Dengan gayanya seperti itu ia dijuluki “Duterte Harry", mengacu pada peran Clint Eastwood dalam karakter film "Dirty Harry."

Pemungutan suara dimulai pukul 6 pagi dan berakhir pada pukul 17:00, dengan perpanjangan waktu sekitar setengah jam di beberapa wilayah yang terlambat membuka pemungutan suara akibat gangguan teknis atau masalah lain.

Duterte belum-belum sudah mengancam akan membubarkan parlemen dan membentuk pemerintahan revolusioner jika legislator menghalangi pemerintahannya.

Selain memilih presdien dan wakilnya, pemilu di Filipina juga memilih 300 anggota dewan nasional dan 18 ribu pejabat daerah. Setidaknya 15 orang tewas dalam kekerasan terkait pemilu. Sementara lebih dari 4.000 ditangkap karena melanggar aturan senjata.

Sekitar 55 juta orang Filipina terdaftar untuk memilih di 36.000 bilik pemungutan suara di negara kepulauan itu, termasuk di sebuah desa nelayan kecil di Filipina yang direbutkan dalam sengketa Laut Cina Selatan.

Presiden Benigno Aquino III. menyebut Duterte sebagai ancaman bagi demokrasi dan menyamakannya dengan pemimpin Nazi, Adolf Hitler. Dalam kampanye final Sabtu lalu, Aquino memperingatkan para pemilih bahwa Duterte bisa menjadi diktator dan mendesak massa untuk tidak mendukungnya.

Tak punya platform ekonomi yang kuat

Analis pasar keuangan memprediksi kemenangan Duterte akan melemahkan mata uang peso Filipina karena ketidakpastian platform ekonominya.

Duterte terkenal dengan pendekatan tangan besi dalam memerangi kejahatan di Davao, di mana ia menjabat sebagai walikota selama 22 tahun. Kelompok hak asasi manusia menuduh dia melakukan pembunuhan tanpa pengadilan untuk para penjahat.

Lebih dari seperempat populasi di Filipina kini terperosok dalam jurang kemiskinan, ketidaksetaraan merajalela dan membutuhkan solusi segera untuk mengatasi pemberontakan ekstrimis Muslim di selatan. Pembayaran utang tahunan dan keterbatasan dana menghalangi perbaikan infrastruktur dan layanan publik, termasuk penegakan hukum. Kondisi ini telah sering memicu keluhan rakyat.

Di Filipina, "kekuatan rakyat" dalam pemberontakan 1986 sukses menggulingkan diktator Ferdinand Marcos, yang menghadapi tuduhan menjarah kekayaan negara dan mengabaikan tuduhan pelanggaran hak asasi manusia. Pada tahun 2001, pembangkangan umum yang serupa juga memaksa presiden Joseph Estrada mundur, atas dugaan korupsi skala besar.

ap/as (ap/afp/rtr/dpa)