1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Puisi Sunyi Oppenheimer untuk Tragedi '65

17 Desember 2014

Lewat filmnya tentang pembantaian massal ’65, Joshua Oppenheimer filmnya akan bisa membantu Indonesia melangkah ke depan jika luka-luka lama bisa disembuhkan

https://p.dw.com/p/1D3Yd
Foto: 71st Venice International Film Festival

"The Look of Silence" adalah sebuah dokumenter lanjutan setelah sukses pertamanya dengan "The Act of Killing", yang masuk nominasi Oscar sebagai dokumenter terbaik.

Kedua film itu berkisah tentang pembantaian pasca percobaan kudeta yang gagal pada '65, yang disusul pembantaian sekitar setengah juta aktivis, simpatisan, atau mereka yang dituduh sebagai bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI).

Dalam film pertama Oppenheimer fokus utamanya adalah Anwar Congo, salah satu jagal paling ditakuti di Medan, Sumatera Utara, di mana ia membual di depan kamera tentang bagaimana cara ia membantai mereka yang dituduh PKI dengan cara menginterogasi dan menjerat leher mereka dengan kawat.

Sementara film kedua berfokus pada Adi Rukun, seorang pembuat kaca mata berusia 40 tahun, yang secara bertahap belajar dari Oppenheimer tentang bagaimana saudara laki-lakinya yang bernama Ramli tewas dalam pembantaian '65, dan akhirnya ia berhadapan dengan keluarga pembunuh sudaranya itu.

Italien Filmfestspiele Venedig 2014 Filmregisseur Joshua Oppenheimer The Look of Silence
Joshua OppenheimerFoto: Daniel Bergeron

Oppenheimer mengatakan dua film ini akan membantu Indonesia melangkah ke depan jika luka-luka lama ini bisa disembuhkan, tapi ia tidak ingin meyakini bahwa semua akan baik-baik saja dalam waktu dekat.

“Saya tidak punya kesabaran dengan dokumenter-dokumenter konvensional hak asasi manusia yang ingin menyembunyikan kekacauan untuk menunjukkan kepada kita bahwa semuanya akan baik-baik saja,” kata dia.

“Saya ingin bilang, ‘Lihat kekacauan ini' karena itulah kenapa hal-hal ini harus diselesaikan.

“Jika hal-hal ini tidak mengerikan dan sulit serta menghancurkan, kita tidak perlu khawatir tentang apa yang menimpa mereka. Masalah dengan kekejaman ini… dan dengan impunitas adalah kekacauan yang membusuk dan semakin buruk dan buruk, sehingga film berakhir dalam semacam kekacauan, horror, dalam ketidakstabilan.“

Oppenheimer mengatakan, Rukun, yang terpaksa pindah dari rumahnya karena alasan keselamatan setelah film ini dirilis, tidak menyadari skala pembunuhan, hingga sutradara itu menunjukkan kepadanya cuplikan-cuplikan film tentang apa yang terjadi.

“Adi menonton semua potongan film yang kami punya untuk diperlihatkan (kepada dia). Ia melahapnya dengan membisu, dengan perasaan dan harga diri yang hancur, putus asa dan marah,“ kata Oppenheimer.

“Saya memahami film lain yang saya buat “The Act of Killing” adalah lukisan bagian pertama, dan kemudian film ini menjelajahi keheningan, semacam puisi kesunyian, dan puisi untuk rasa trauma memecah kebisuan…

“Ketika saya sadar ada film lain yang harus dibuat, saya sadar saya akan membuatnya dengan Adi,“ kata Oppenheimer. “Kemudian Adi meyakinkan bahwa ia ingin bertemu dengan para pelaku (pembunuhan saudara laki-lakinya) yang sudah bertahun-tahun ia lihat, dan begitulah bagaimana film ini dibuat.“

ab/rn (ap,rtr,afp)