1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

PSI: Yang Muda Yang Berpartai

Uly Siregar
30 Mei 2018

Generasi Milenial dan Generasi Z Indonesia mungkin aktif di media sosial, tapi tak banyak dari mereka yang benar-benar mau berkecimpung di ranah politik. Kenapa demikian? Simak opini Uly Siregar.

https://p.dw.com/p/2y02F
Indonesien - Partai Solidaritas Indonesia
Foto: PSI

Jangankan merepotkan diri bergabung dengan partai politik, yang enggan menggunakan hak pilih pun masih gampang ditemui. Tapi jangan tanya berapa banyak anak muda yang bawel di Twitter mulai dari soal politik hingga isu-isu feminisme. Saking bawelnya, mereka bahkan seringkali dicap sebagai pasukan SJW (social justice warrior) yang hanya jago berkicau di medsos.            

Keengganan anak muda berpartisipasi secara aktif di ranah politik,atau menggunakan hak pilih mereka tak hanya terjadi di Indonesia. Di Amerika Serikat, sebuah survei nasional dengan responden usia 18-29 tahun yang diselenggarakan oleh Harvard's Institute of Politics (IOP) menyebutkan terdapat ekspektasi yang sangat rendah untuk berpartisipasi dalam pemilu paruh waktu. Hanya kurang dari 23 persen anak muda Amerika Serikat yang menyatakan pasti mencoblos di bulan November. Di antara mereka yang paling mungkin mencoblos, survei juga menemukan bahwa konstituen partai Republik (yang cenderung konservatif) memperlihatkan antusiasme yang lebih tinggi dibandingkan dengan partai Demokrat (yang cenderung liberal).

Bagi anak muda Indonesia, berurusan dengan politik sering membuat gentar

Apalagi perilaku politisi Indonesia sering tak terpuji. Wakil rakyat yang harusnya mengurusi nasib rakyat justru terlibat dengan beragam skandal yang melibatkan jumlah uang yang tak sedikit.

Petinggi-petinggi partai tersangkut beragam kasus korupsi, hingga membuat KPK kewalahan. Pejabat daerah mengumbar kekayaan yang jumlahnya menjadi berlipat ganda hanya sesaat setelah menjabat. Singkat kata, politisi Indonesia membawa citra negatif. Akibatnya, buat anak muda Indonesia, politik itu nyaris identik dengan perebutan kekuasaan agar bisa memperkaya diri, bukan memperbaiki nasib rakyat. Politik itu busuk, tak seindah seperti memajang foto terbaik di Instagram, atau segampang menyinyiri kepemimpinan Presiden Jokowi di status Facebook, atau seasyik berperang kata-kata di Twitter.

Uly Siregar Blogger
Penulis: Uly SiregarFoto: Uly Siregar

Bergabung dengan partai politik bukan ide yang akrab bagi anak muda Indonesia. "Rendahnya minat anak muda terjun politik bisa dimaklumi karena sebagian besar partai yang ada selama ini didominasi ide-ide yang bagi anak muda dianggap usang, klise, dan tidak menawarkan sesuatu yang segar. Praktik korupsi dan tindak tanduk politik lama membuat publik apalagi anak muda apatis. Tingkat kepercayaan publik terhadap DPR dan parpol kini mencapai titik terendah,” jelas Andy Budiman, Ketua Tim Kampanye Partai Solidaritas Indonesia (PSI).

Padahal parpol seharusnya berlomba-lomba menarik simpati kaum muda untuk bergabung. Pasalnya, berdasarkan survei SMRC, ‘party ID' di Indonesia sangatlah lemah. Tak seperti di Amerika Serikat yang masyarakatnya fanatik dalam berpartai, hanya sekitar 20 persen rakyat Indonesia yang mengasosiasikan diri dengan parpol. Sisanya bisa disebut mengambang, berpotensi untuk berpindah dari satu partai ke partai lainnya.

Muramnya dunia politik Indonesia dari sentuhan tangan anak muda generasi Milenial dan generasi Z jelas tak boleh dibiarkan berlarut-larut. Tantangan dan juga kesempatan bagi partai politik adalah meyakinkan mereka untuk mengisi panggung politik Indonesia dengan sosok-sosok baru yang tergolong muda, bertenaga, pandai, berprestasi, dan mau bekerja keras. Juga jauh dari urusan korupsi.

Ide dan gagasan baru

Adalah PSI yang mengklaim diri sebagai mesin politik baru yang mengusung identitas kebajikan dan keberagaman, termasuk ide dan gagasan baru. Ia mencoba meyakinkan rakyat Indonesia—terutama kaum muda—bahwa partai ini tak terperangkap dalam kepentingan politik lama, klientalisme, rekam jejak yang buruk, beban sejarah dan citra yang buruk. PSI juga mengusung semangat feminisme dengan memberi porsi yang besar pada perempuan. Tak hanya dalam jumlah 30 persen perempuan, tapi juga berjanji selalu melibatkan perempuan secara aktif dalam pengambilan keputusan politik.

Selintas, PSI seperti ‘dream party' di tengah kemuakan rakyat Indonesia akan parpol-parpol besar yang tak putus-putusnya mengecewakan. Dan respon yang muncul pun tak buruk. Sejak berdiri 16 November 2014, terdapat 400 ribu pemegang kartu anggota di seluruh Indonesia. Ditambah dengan jumlah pengurus sekitar 30 ribu, dengan komposisi gender relatif seimbang antara perempuan dan laki-laki.

Tapi perjalanan PSI mengambil hati anak muda Indonesia untuk mau aktif berpolitik jelas tak gampang. Kehadiran PSI tak hanya menuai sikap optimistik, tapi juga skeptis di kalangan anak muda. Beberapa pihak dengan sinis memberi label ‘partai medsos', partai yang hanya memimpin di kampanye medsos. Eksistensi PSI di medsos diwarnai oleh keriuhan atas pernyataan-pernyataan kontroversial yang muncul dari juru bicara PSI Tsamara Amany Alatas, misalnya. Meskipun, menurut Andy Budiman, kuat dalam kampanye medsos justru memperlihatkan kualitas partai dalam memanfaatkan kemajuan digital yang merupakan dunia masa depan. Menurut Andy Budiman yang juga caleg DPR RI PSI untuk Dapil Jatim I Surabaya-Sidoarjo ini PSI adalah partai yang mempunyai konsep paling jelas mengenai strategi pengembangan digital dan isu perlindungan data konsumen digital. Baiklah.

Tapi realitanya, politik adalah dunia yang tak menarik bagi kaum muda. Sumber daya manusia terbaik, mereka yang muda, cerdas, dan berprestasi lebih bersemangat menapaki dunia profesional daripada menceburkan diri dalam keruwetan dunia politik Indonesia. Akibatnya partai dan jabatan politik justru diisi oleh orang-orang dengan kualitas nomor dua. Mungkin termasuk juga di PSI.

Namun tentu tak adil untuk mengarahkan sinisme pada partai baru seperti PSI yang belum memiliki dosa politik seperti partai-partai pendahulunya. Apalagi ia mengusung semangat anti korupsi. Seharusnya kita mendukung semakin banyak lahirnya partai baru yang bisa menjadi wadah bagi kaum muda untuk berpolitik. Dalam rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Jakarta, 17 Februari lalu, PSI dinyatakan resmi sebagai peserta Pemilu 2019. Artinya, satu partai baru menjadi alternatif bagi kaum muda Indonesia untuk dipertimbangkan dan dipilih pada pemilu yang sudah semakin dekat.

Sudah waktunya kaum muda Indonesia mengambil alih kendali politik di tanah air dengan aktif berpolitik dan bergabung bersama parpol. Bila memang muak pada parpol-parpol lama yang sarat dosa, mengapa tak memberi kesempatan pada parpol baru yang belum terbukti ngawur? Tak harus dengan PSI, tentunya. Mungkin pada pemilu berikutnya, kaum muda Indonesia semakin mempertimbangkan untuk bergabung dengan parpol yang ada dan menjadi pembawa perubahan dalam parpol tersebut. Atau, untuk mereka yang lebih progresif, membentuk parpol baru.

Karena ada perbedaan yang sangat antara nyinyir bahkan kritis di Twitter, dengan mereka yang ikut terlibat dalam rapat partai dan turut andil dalam memberikan arahan pada pengambilan keputusan. Dan bila keputusan yang diambil bisa memberikan perubahan yang berarti bagi kesejahteraan rakyat Indonesia, adilkah bila kita sinis pada mereka yang memilih berjuang dengan cara bergabung dalam parpol atau membentuk partai baru? 

Penulis: Uly Siregar (ap/vlz)

Bekerja sebagai wartawan media cetak dan televisi sebelum pindah ke Arizona, Amerika Serikat. Sampai sekarang ia masih aktif menulis, dan tulisan-tulisannya dipublikasikan di berbagai media massa Indonesia.

@sheknowshoney

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.