1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Program Imigrasi Inggris Picu Eksodus Warga Hong Kong?

Phoebe Kong
3 Februari 2021

Jutaan penduduk Hong Kong memenuhi syarat untuk program kewarganegaraan Inggris jalur cepat. Melarikan diri dari cengkeraman Beijing dianggap sepadan dengan perjuangan memulai kembali kehidupan di negara asing.

https://p.dw.com/p/3onwv
Warga meninggalkan bandara di Hong Kong yang diblokir massa demonstran pada September 2019
Warga meninggalkan bandara di Hong Kong yang diblokir massa demonstran pada September 2019Foto: picture-alliance/AP Photo/K. Cheung

Menyusul tekanan berkepanjangan dari Beijing terhadap kebebasan sipil di Hong Kong, pada 31 Januari, Inggris memulai program imigrasi yang akan meringankan persyaratan kewarganegaraan bagi jutaan warga Hong Kong yang ingin meninggalkan wilayah bekan jajahannya ini.

Kementerian Dalam Negeri Inggris memperkirakan ada 2,9 juta pemegang status British National Overseas (BNO) yang memenuhi syarat untuk pindah ke Inggris, beserta 2,3 juta anggota keluarga yang memenuhi syarat. Di bawah skema baru ini, mereka akan dapat mengajukan permohonan visa secara online.

Pendatang dengan status BNO dari Hong Kong diizinkan untuk tinggal, bekerja, dan belajar di Inggris selama mereka dapat menanggung biaya hidup sendiri.

Nantinya, setelah lima tahun tinggal di Inggris, mereka akan dapat mengajukan permohonan kewarganegaraan normal. Status BNO merupakan warisan pemerintahan kolonial Inggris, yang khusus diberikan kepada penduduk Hong Kong yang lahir sebelum wilayah ini diserahkan kembali ke Cina tahun 1997.

Pemerintah Inggris memperkirakan bahwa dalam lima tahun ke depan, visa dengan skema baru ini dapat menarik lebih dari 300.000 orang beserta anggota keluarga yang menjadi tanggungannya. Kini, banyak penduduk Hong Kong menyambut baik kesempatan untuk segera hengkang.

Mulai hidup baru, jauh dari rumah

Sun, insinyur sipil berusia 29 tahun, tiba di Inggris Desember lalu dengan paspor BNO. Saat protes yang dikenal dengan Gerakan Payung pada tahun 2014 dimulai, Sun sebenarnya telah merasa tidak aman di Hong Kong dan segera memperbarui paspor BNO-nya.

Protes besar-besaran menentang pemerintah pada tahun 2019, dan tindakan keras dari pimpinan adminstratif Hong Kong yang didukung Beijing, menjadi pendorong keputusannya untuk pergi sesegera mungkin, papar Sun.

"Penanganan buruk pemerintah Hong Kong terhadap krisis politik membuat Hong Kong tidak berbeda dengan Cina daratan," ujar Sun kepada DW, dan menambahkan bahwa kepemimpinan Hong Kong "tidak lagi melayani rakyat Hong Kong dan bahkan mengancam jalan hidup kami."

Inggris menyatakan keputusan untuk membuka pintunya bagi warga Hong Kong memenuhi "komitmen sejarah dan moral" kepada warga di bekas koloni itu. Pada Juni 2020, Beijing memberlakukan undang-undang keamanan nasional di Hong Kong, yang dikritik di seluruh dunia sebagai alat otoriter untuk membungkam perbedaan pendapat dan mengikis kebebasan sipil. Sejak itu, puluhan aktivis pendukung demokrasi telah ditangkap.

Wong, pegawai negeri berumur 30 tahun di Hong Kong, juga memutuskan pindah ke Inggris setelah pemerintah kota memerintahkan semua pegawai negeri untuk menandatangani pernyataan kesetiaan. 

"Kami tidak ingin menandatanganinya karena itu mengharuskan kami untuk berjanji setia tanpa syarat kepada pihak berwenang. Perbedaan pendapat tidak diizinkan bahkan pada saat kami sedang tidak bertugas. Itu adalah pelanggaran hak pribadi," kata Wong kepada DW.

"Saya merasa malu bekerja untuk pemerintah yang saya tidak merasa sejalan dengannya sejak protes 2019. Saya bahkan lebih khawatir bahwa bersumpah setia kepada pemerintah akan mempersulit pendaftaran kewarganegaraan bagi saya di negara demokratis lainnya", imbuh mantan pegawai negeri Hong Kong itu.

Berharap kehidupan lebih baik di rantau

Inggris memperkirakan sedikitnya 300.000 orang diharapkan tiba selama lima tahun ke depan, dapat membawa keuntungan ekonomi bersih hingga 2,9 miliar poundsterling (sekitar Rp 55,48 triliun) ke negara itu.

Wong dan keluarganya mengatakan mereka akan pergi setelah properti mereka di Hong Kong terjual. Menurutnya, ia rela melepaskan pekerjaan bergaji tinggi dengan gaji bulanan sekitar Rp 27 juta untuk mengamankan masa depan putrinya yang baru lahir.

"Undang-undang keamanan nasional pada tahun 2020 adalah titik balik yang kritis. Undang-undang tersebut menandakan kematian 'satu negara dua sistem.' Tidak ada lagi harapan bagi demokrasi dan kebebasan," kata Wong.

"Hong Kong telah kehilangan perlindungan konstitusinya. Saya tidak bisa membiarkan anak saya tumbuh di lingkungan penuh politik cuci otak yang hanya menanamkan seperangkat nilai yang dikendalikan oleh Cina," tambahnya.

Wong tidak memiliki akses ke tunjangan kesejahteraan sosial di Inggris, tetapi putrinya akan memenuhi syarat untuk bisa mendaftar di sekolah umum. 

Foto para aktivis demokrasi di Hong Kong yang ditahan oleh pemerintah
Sekitar 50 aktivis demokrasi di Hong Kong telah ditahan oleh pemerintah karena menentang pemberlakuan UU Keamanan Nasional.Foto: Kin Cheung/AP/dpa/picture alliance

Tidak ada jalan untuk kembali?

Beijing telah menolak skema migrasi dan tidak akan lagi mengakui paspor BNO sebagai alat identifikasi yang sah. Saat ini Beijing juga tengah mempertimbangkan langkah-langkah tanggapan lebih lanjut.

Sementara Sun dan Wong mengatakan kepada DW bahwa rumor Beijing menindak lebih lanjut para pemegang paspor BNO dengan mencabut hak pilih mereka, kemungkinan malah akan memicu eksodus, alih-alih mencegah mereka berpindah kewarganegaraan.

"Beberapa tahun lalu, kemungkinan langkah ini akan menjadi dilema, tapi tidak sekarang. Tidak ada artinya mempertahankan hak pilih saya ketika pemilu yang adil tidak ada lagi," kata Sun.

Bagi kebanyakan orang, memulai hidup baru jauh dari rumah berarti kemungkinan tidak akan ada jalan untuk kembali bagi mereka.

"Kami, para emigran, adalah (sekelompok orang) yang beruntung dibandingkan dengan mereka yang tidak bisa pergi," kata Sun. "Meski warga Hong Kong kini tersebar, saya berharap hati kita tetap bersatu seperti saat menggekar aksi protes di jalanan pada 2019." (ae/as)