1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Call to action

24 Mei 2012

Penyakit demensia diramalkan akan menyerang lebih dari 115 juta orang pada tahun 2050. WHO melaporkan saat ini tercatat 36 juta penderita.

https://p.dw.com/p/151d5
Foto: picture-alliance/dpa

Organisasi kesehatan dunia (WHO) bekerja sama dengan asosiasi Alzheimer internasional (ADI) menerbitkan laporan global pertama tentang demensia. Laporan yang dipublikasikan bulan lalu itu memperingatkan,  kasus penyakit demensia akan meningkat tiga kali lipat pada tahun 2050.

Lebih dari 70 persen akan terjadi di negara-negara berkembang. Kedua organisasi tersebut mendesak dunia internasional untuk mengantisipasi masalah ini dengan memperkuat sistem kesehatan publik dari sekarang.  

Tua tidak berarti demensia

Video di situs resmi WHO menampilkan d´citra manusia lanjut usia dari berbagai penjuru dunia yang melakukan aktivitas yang juga bagi orang muda cukup berat. Seperti pria berusia 100 tahun yang turut lari marathon. 

Martin Prince, profesor epidemiologi psikiatri di King's College London mengatakan kepada DW, semua sistem dalam tubuh akan mengalami degenerasi dalam spektrum luas, seiring bertambahnya usia.

"Dari umur 25 tahun ke atas, sejumlah sel saraf yang memainkna fungsi tertentu dalam otak akan berkurang secara bertahap. Juga terjadi beberapa perubahan dalam performa kejiwaan," ujar Prince.

Demensia adalah penyakit otak. Prince menjelaskan, penyakit otak yang paling sering menyebabkan demensia adalah Alzheimer. 70 persen penderita demensia adalah pengidap Alzheimer. Otak yang diserang penyakit Alzheimer sama sekali berbeda dengan otak normal yang menua. "Sebenarnya, sebagian besar manusia yang mencapai usia seabad tidak menderita demensia," tambah Prince.

Pflege Altenheim
Bantuan khusus dibutuhkan penderita demensiaFoto: picture alliance / dpa

Demensia menyerang semua lapisan masyarakat di dunia. Lebih dari setengah penderitanya tinggal di negara dengan pendapatan rendah dan menengah. WHO memperkirakan, tahun 2050 kasus demensia akan meningkat drastis, dari saat ini sekitar 36 juta menjadi lebih dari 115 juta. Dan ini masalah besar, karena sistem kesehatan khususnya di negara-negara miskin tidak siap menangani jumlah besar manula yang membutuhkan bantuan.

Faktor resiko yang bisa dicegah

Demensia adalah kelainan otak, biasanya kronis. Ini disebabkan berbagai penyakit otak yang mempengaruhi daya ingatan, kemampun berpikir dan kemampuan untuk menjalankan aktivitas sehari-hari.

Demensia vaskular, salah satu bentuk demensia yang paling sering menyerang setelah Alzheimer disebabkan oleh masalah suplai darah ke otak.

Shekhar Saxena, direktur program kesehatan kejiwaan dan penyalahgunaan obat WHO mengatakan, berbeda dengan Alzheimer yang tidak bisa disembuhkan, demensia vaskular bisa dicegah.

Menurut Saxena, jika faktor resiko seperti diabetes, hipertensi, obesitas, kebiasaan merokok dan kurang kegiatan fisik dihindari, maka terjadinya demensia vaskular bisa dicegah.

Ia menjelaskan, perawatan bagi penderita demensia kerap ditunda, karena gejalanya tidak selalu dapat dikenali. "Seringnya dianggap sebagai menurunnya kemampuan yang berkorealsi dengan usia lanjut," ujar Saxena. Demensia mirip dengan masalah terkait dengan usia dan berkembang secara lambat. 

16.03.2012 DW Fit und Gesund Alzheimer 04
Mulai lupa hal mudah gejala awal demensia

Bahkan di negara-negara kaya, hanya 20-50 persen kasus demensia yang dikenali secara rutin. Persentase ini jauh lebih rendah di negara yang penduduknya berpenghasilan rendah dan menengah. 

Masalah di negara berkembang

Demensia belum menjadi masalah besar di negara berkembang, karena hanya sedikit penduduk yang masih hidup di usia lebih dari 75 tahun. Usia dimana gejala demensia biasanya mulai terlihat. 

Hal ini diperkirakan akan berubah dengan pertumbuhan populasi dan perbaikan standar kesehatan. Masalah ini diramalkan akan membebani warga di benua Afrika dan Asia.

WHO melaporkan diperlukan lebih dari 600 milyar Dolar AS per tahun untuk pengobatan dan perawatan penderita demensia. Angka ini diperkirakan akan bertambah. Para petuhas kesehatan menyebut demensia sebagai bom waktu yang siap meledak.

Profesor pskiatri Martin Prince mengatakan negara berkembang tidak sadar akan besarnya masalah itu. Banyak pemerintahan yang menganggap pihak keluargalah yang akan mengurus pasien, seperti yang biasa dilakukan di masa lampau.

Namun, hasil penelitian WHO mengindikasi hal itu tidak berlaku lagi, akibat terjadinya perubahan sosial. Semakin banyak warga tidak memilik anak atau keluarga besar, yang mengurusi perawatan, dukungan keuangan dan tempat tinggal. Migrasi ke kota-kota besar juga faktor lain yang memutus struktur keluarga tradisional.

"Warga bermigrasi ke kota lain atau negara lain untuk mencari pekerjaan. Standar pendidikan bagi perempuan juga membaik. Sehingga perempuan yang biasanya merawat keluarga tidak lagi tersedia atau bersedia untuk melakukannya," tambah Prince.

Seruan untuk beraksi

Marc Wortmann, direktur eksekutif ADI, menyebut statistik yang ada sebagai hal yang menakutkan. Ia mengatakan, setiap empat detik muncul satu kasus baru demensia di dunia. Sementara 10 tahun lalu, 'hanya' setiap tujuh detik.

Weltgesundheitsorganisation WHO in Genf
Markas WHO di JenewaFoto: dapd

"Jadi, kalau memandang ke proyeksi masa depan, bisa menjadi satu kasus demensia per detik di tahun 2050," ujar Wortmann.

Laporan kasus demensia itu, mengingatkan masyarakat internasional untuk menyiapkan program yang berfokus pada perbaikan diagnosa awal dan meningkatkan kesadaran publik tentang penyakit ini. Laporan itu menyarankan untuk melibatkan para perawat dan mendukung program bagi pnderita demensia dan pihak lain yang terkena dampaknya.

Layanan berbasis masyarakat bisa menyediakan dukungan berharga bagi keluarga yang merawat pasien demensia, baik di negara berpenghasilan tinggi maupun rendah. Dan ini akan menunda kebutuhan pasien untuk memasuki sarana perawatan khusus yang ongkosnya mahal.

Demensia tidak bisa disembuhkan, tetapi banyak yang bisa dilakukan untuk mendukung dan memperbaiki kehidupan para penderita penyakit ini, bersama keluarganya serta para perawat.

"Kita harus melakukan aksi, kita harus melakukan sesuatu untuk menghentikan epidemi ini," tegas Wortmann.

Lisa Schlein / Vidi Legowo-Zipperer

Editor : Agus Setiawan