1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Politikus Busuk

21 Maret 2017

Triliunan rupiah proyek raksasa E-KTP diduga "diembat" dan dijadikan bancakan beramai-ramai oleh para politikus terhormat. Apa tujuan sesungguhnya partai politik dan para politikus? Simak opini Anton Kurnia berikut.

https://p.dw.com/p/2Zdbs
Indonesien Neuer Präsident Joko Widodo 20.10.2014
Foto: picture-alliance/AP/Dita Alangkara

Apakah kekuasaan itu tujuan akhir atau "jembatan emas” untuk mewujudkan cita-cita "masyarakat adil, makmur, aman, dan sejahtera” seperti yang pernah diucapkan oleh Bung Karno dalam satu pidatonya semasa muda?

George Orwell, novelis dan esais asal Inggris, punya pendapat tajam tentang politikus dan kekuasaan. Dalam novel legendarisnya, 1984, melalui tokoh Big Brother, diktator yang digambarkan omnipotence (serbakuasa) dan omnipresent (serbatahu) sehingga seakan menyaingi kuasa Tuhan, dia menyatakan: "The Party seeks power entirely for its own sake. We are not interested in the good of others; we are interested solely in power, pure power. What pure power means you will understand presently. … Power is not a means; it is an end. … The object of power is power.”

Penulis:  Anton Kurnia
Penulis: Anton Kurnia Foto: privat

Menurut Orwell, partai politik yang notabene dihuni sekelompok politikus haus kekuasaan sesungguhnya tak peduli akan kebaikan bagi orang lain. Mereka hanya peduli pada kekuasaan itu sendiri. Tujuan akhir mereka setelah berkuasa hanyalah mendatangkan keuntungan bagi diri mereka sendiri atau kelompok mereka. Masa bodoh dengan rakyat.

Pemikiran Orwell itu ada benarnya jika kita melihat sejarah. Kita ambil satu contoh. Pada 21 Mei 1998, enam belas tahun silam, Soeharto mundur dari puncak kekuasaan yang digenggamnya erat-erat selama 32 tahun. Itu sekaligus menandai berakhirnya rezim Orde Baru yang korup dan otoriter. Rezim yang disokong militer dan birokrat itu secara formal tutup buku. Reformasi digulirkan. Rakyat berharap akan perubahan menuju masa depan bersama yang lebih baik. Tapi apa lacur?

Korupsi berjamaah?

Sejak kejatuhan Soeharto lebih dua windu lalu, empat pemilu dan lima presiden telah datang dan pergi. Namun, perubahan yang digadang-gadang itu tak kunjung terjadi. Rakyat masih terjepit kesulitan hidup. Kesejahteraan ekonomi masih angan-angan. Penegakan hukum secara adil masih jadi impian. Keadilan sosial masih hanya retorika. Sementara, para politikus (ya, saya lebih suka menyebut mereka politikus, bukan politisi, sebab politikus bermakna "poli” itu banyak, "tikus” itu hewan rakus) busuk sibuk menggarong uang negara dan bertengkar sesama mereka demi kekuasaan. Begitu busuknya aroma para politikus di parlemen sehingga mereka membutuhkan anggaran lebih dari 2 miliar setahun hanya untuk pewangi ruangan. Persetan nasib rakyat yang dibelit kemiskinan dan harus terlunta-lunta mencari keadilan seperti para petani Kendeng.

Bahkan, yang baru terungkap, triliunan dana untuk proyek raksasa KTP elektronik pun diembat dan dijadikan bancakan beramai-ramai oleh para politikus terhormat dan pejabat terpelajar di jajaran eksekutif dan parlemen. Jika Pramoedya Ananta Toer pernah menulis bahwa "seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran”, mereka itu justru "sudah korup sejak dalam pikiran”. Padahal, seperti yang juga pernah dinyatakan Pramoedya dalam novel Bumi Manusia, "Semakin tinggi sekolah bukan berarti semakin menghabiskan makanan orang lain. Harus semakin mengenal batas.”

Yang abadi hanya kepentingan

Premis Orwell yang mengatakan bahwa tujuan partai politik adalah kekuasaan dan bahwa kekuasaan itu adalah untuk kekuasaan sendiri, bukan demi kepentingan rakyat, bisa menjelaskan dagelan politik para politikus di pusaran elite kekuasaan hari-hari ini yang sibuk plintat-plintut demi kekuasaan lebih besar, termasuk dalam drama sengkarut pilkada Jakarta yang merusak tatanan harmoni keberagaman dan keberagamaan masyarakat kita dan merembet ke mana-mana.

Maka, adagium "tak ada kawan abadi, tak ada lawan abadi, yang abadi hanya kepentingan” pun berlaku dalam arena dagang sapi para politikus. Bisa jadi yang di masa lalu saling mencaci kini saling berpelukan seraya tertawa lebar. Kata-kata diputarbalikkan. Kalau perlu, ayat-ayat Tuhan pun dimanipulasi demi melegitimasi kepentingan sesaat. Yang dulu lawan jadi kawan, yang dulu kawan jadi lawan. Mereka ramai-ramai mendadak terjangkit amnesia sejarah. Dan rakyat jelata hanya bisa gigit jari.

"Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata,” tulis Rendra dalam satu puisinya. Bagi mereka yang waspada, sesungguhnya kekuasaan adalah alat untuk berjuang mewujudkan cita-cita mulia. Dan bagi mereka yang berkuasa, adakah yang lebih mulia selain berjuang bersungguh-sungguh untuk kepentingan rakyat banyak?

Penulis:

Anton Kurnia (ap/hp), penulis dan pembaca. Buku esainya Mencari Setangkai Daun Surga: Jejak Perlawanan Manusia Atas Hegemoni Kuasa, 2016. 

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.