1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Politik Baru Amerika Serikat di Asia Tenggara

24 Juli 2009

AS tampak ingin lebih berperan di Asia Tenggara. Dalam Forum Regional ASEAN, AS diwakili Menlu Hillary Clinton. Clinton menandatangani Perjanjian Persahabatan dan Kerjasama. Apakah ini politik baru AS di Asia Tenggara?

https://p.dw.com/p/IwBq
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Clinton
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary ClintonFoto: AP

Para menteri luar negeri negara-negara Asia Tenggara ASEAN membicarakan masalah keamanan regional dengan negara-negara mitranya di Phuket, Thailand. Selain Cina, Jepang, Australia, Selandia Baru, hadir juga Amerika Serikat yang diwakili Menlu AS Hillary Clinton. Kehadirannya berdampak pada sejumlah isu yang dibahas. Rabu kemarin, Clinton juga menandatangani Perjanjian Persahabatan dan Kerjasama, yang mengisyaratkan lebih jauh komitmen AS pada Asia Tenggara.

Di Phuket, Menlu AS bertemu rekan-rekan sejawatnya dari Cina, Rusia, Jepang dan Korea Selatan untuk kembali berdialog dengan Korea Utara tentang program nuklir negara itu.

Hillary Clinton mengimbau junta militer Myanmar agar membebaskan tokoh oposisi Aung San Suu Kyi. Ia mengatakan, pembebasan Suu Kyi bisa membuka jalan bagi investasi AS di Myanmar.

Clinton juga memuji Myanmar yang mendukung dijatuhkannya sanksi terhadap Korea Utara. Terkait dengan hubungan Myanmar dan Korea Utara, ia mengatakan, Amerika Serikat akan terus mengawasi agar tidak terjadi kerjasama yang dapat mendestabilisasi kawasan.

Rabu (22/07), Clinton juga menandatangani Perjanjian Persahabatan dan Kerjasama dengan ASEAN. Dengan begitu, posisi Amerika Serikat serupa dengan negara mitra ASEAN lainnya, Cina, Jepang, Australia dan Selandia Baru dalam membahas keamanan kawasan Asia Tenggara.

Menurut Carl Thayer, analis keamanan regional dari Universitas New South Wales di Australia, ini merupakan langkah penting. Amerika Serikat tampak ingin lebih berperan di Asia Tenggara.

"Kedua langkah ini akan menjamin kehadiran diplomat AS di Asia Tenggara, kita ingat pada masa pemerintahan Bush, menteri luar negeri Condoleeza Rice beberapa kali batal menghadiri pertemuan forum keamanan regional, ARF. Akibatnya negara-negara Asia Tenggara mulai menguatirkan kredibilitas AS,“ kata Thayer.

Thayer menambahkan, pemerintah AS ingin mengadopsi kebijakan diplomasi cerdas, yakni dengan menekankan pentingnya kesepakatan multilateral dalam menghadapi isu regional.

Peran lebih besar AS juga bakal menyorot isu sensitid seperti sengketa wilayah Lautan Cina Selatan, antara Vietnam, Filipina dan Cina. Sebelumnya, Yayasan Jamestown yang bermarkas di Wasington memperingatkan bahwa terobosan tahun 2002 antara ASEAN dan Cina terancam tidak diabaikan.

Pemerintah AS juga diharapkan menahan desakan Cina terhadap perusahaan negara adi daya itu untuk memutuskan hubungan dagangnya dengan Vietnam.

Sementara itu pegiat Hak Azasi Manusia mengatakan bahwa keterlibatan AS dalam ASEAN bisa mendorong junta militer Myanmar untuk menggulirkan proses reformasi, khususnya di bidang politik.

Tahun depan Myanmar atau Birma menghadapi pemilihan umum. AS mendesak agar sebelumnya junta Myanmar membebaskan semua tahanan politik, selain itu agar pemilu berjalan secara adil dan terbuka. Debbie Stothard, juru bicara LSM Hak Azasi Manusia, Alternative ASEAN Network menilai langkah AS secara positif.

Ungkapnya, “ASEAN akan menanggapi isu Birma secara lebih serius, hanya karena AS juga hadir di Konferensi ARF. Inilah yang bakal mendorong peserta Forum Regional ASEAN agar lebih pasang telinga dan memperhatikan isu itu, yakni karena AS adalah salah satu mitra utama ASEAN.

Dan meski ditolak oleh ASEAN, Menlu AS Hillary Clinton tak ragu menyampaikan usul agar keanggotaan Myanmar dibatalkan, apabila junta Myanmar terus melanggar HAM.

Ron Corben / Edith Koesoemawiria

Editor: Ayu Purwaningsih