1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialSpanyol

Polemik Cuti Menstruasi: Berkah atau Kutukan?

Sonya Angelica Diehn
17 Mei 2022

Menstruasi yang dibarengi rasa sakit akut secara berkala membatasi kemampuan sebagian perempuan untuk bekerja. Tapi cuti menstruasi yang diperkenalkan di Spanyol dikritik menyuburkan stigma dan diskriminasi. Apa pasal?

https://p.dw.com/p/4BMos
Ilustrasi perempuan di tempat kerja
Ilustrasi perempuan di tempat kerjaFoto: Robert Kneschke/Zoonar/picture alliance

"Saya ingat sedang mengajar di kelas, ketika saya merasakan sakit yang sangat besar sampai-sampai saya menangis. Dan saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Tentu saja, saya saat itu pergi keluar," tutur Judy Birch, mengisahkan episode menstruasi akut yang dia alami setiap bulan. 

Birch kini mengelola lembaga bantuan perempuan pengidap dismenore alias menstruasi akut di Inggris. Kondisi ini terdokumentasi memicu pendarahaan, kejang otot, rasa lelah, mual dan bahkan diare.

Menurut sebuah riset di Amerika Serikat, hingga 91 persen perempuan di usia subur mengalami dismenore. Adapun perempuan, yang mengaku mengalami rasa sakit luar biasa akibat menstruasi, berjumlah sekitar 29 persen.

Sementara bagi 20 persen perempuan, rasa sakit akibat dismenore bahkan menghalangi aktivitas sehari-hari, lapor American Academy of Family Physicians.

Bagaimana perempuan menanggulangi rasa sakit?

"Saya kesulitan melewati masa ini," kisah Birch, "tidak mampu berkonsentrasi, tidak bisa fokus. Tubuh saya sama sekali tidak berfungsi normal," imbuhnya.

Di sejumlah negara, perempuan berhak mengambil cuti kerja selama datang bulan. Namun kebijakan "cuti menstruasi" ini dianggap kontroversial, karena dituduh turut menyuburkan stigma dan diskriminasi. Kendati begitu, Spanyol sedang bersiap menjadi negara pertama di Eropa yang mengadopsi hak cuti bagi pengidap dismenore.

Tiga hari per bulan

Rancangan Undang-undang Kesehatan di Spanyol antara lain memberikan hak bagi pekerja perempuan untuk mengambil cuti menstruasi selama tiga hari setiap bulan. Meski belum ada rincian yang jelas, RUU tersebut diperkirakan bakal mewajibkan pengidap dismenore menyerahkan surat keterangan medis kepada tempat kerja.

Memberdayakan Perempuan Penyandang Disabilitas di Pakistan

Toni Morillas, Direktur Institut Perempuan Spanyol, mengatakan kontroversi seputar hak cuti menstruasi berasal stigma lama yang masih bertahan. "Di negara ini, kami kesulitan mengakui bahwa menstruasi adalah sebuah proses psikologis yang memiliki haknya sendiri." Dia merujuk pada data teranyar, bahwa satu dari dua perempuan mengalami rasa sakit akut saat menstruasi.

Proposal tersebut merupakan bagian dari RUU Kesehatan yang secara umum memperkuat hak perempuan, antara lain untuk aborsi dan kebebasan menggugurkan kandungan tanpa izin orang tua bagi perempuan di usia 16 dan 17 tahun. RUU itu juga menghapus pajak bagi produk-produk menstruasi, seperti pembalut.

Asia Timur unggul dalam hak menstruasi

Saat ini hanya Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Indonesia dan Zambia yang memiliki kerangka hukum bagi perempuan untuk mengambil cuti menstruasi.

Veve Hipitiew, Direktur Kiroyan Partners di Indonesia, sendirinya harus menggunakan cuti menstruasi sebagai kepala perusahaan. Dia mengaku acap menggunakan hak tersebut karena mengalami sakit luar biasa di bagian perut saat datang bulan. "Saya tidak bisa duduk normal. Saya tidak bisa bekerja jika harus duduk di depan meja atau bekerja dengan laptop selama delapan atau sembilan jam sehari."

Meski menurutnya kebijakan memberikan cuti menstruasi "sangat membantu" pekerja perempuan, "masih ada stigma atau diskriminasi terkait hak ini, karena orang berpikir perempuan hanya malas, mereka cuma tidak ingin bekerja."

Hal ini terutama rentan terjadi pada buruh perempuan di pabrik, imbuhnya, di mana tingkat produktivitas erat bergantung pada jumlah jam kerja. Bagi mereka, cuti menstruasi bisa jadi baru berupa teori, ketimbang praktek, kata Veve.

Pengakuan bagi perempuan

Fenomena di Jepang, yang menjamin cuti menstruasi sejak 1947, membenarkan asumsi tersebut. Menurut survey teranyar Nikkei Asia, kurang dari 10 persen perempuan mengambil cuti menstruasi, ketika 48 persen mengaku membutuhkan hari libur ketika datang bulan. Studi tersebut mencatat, perempuan cendrung enggan mengambil cuti jika berhadapan dengan  bos laki-laki, atau karena pekerja perempuan lain tidak menggunakan haknya itu.

Hal serupa juga bisa diamati di Eropa dengan hak cuti yang tergolong longgar. Di Belanda misalnya, sebuah survey dengan 30.000 responen perempuan dari 2019 silam menyebut sekitar 14 persen mengambil cuti menstruasi, tapi hanya 20 persen yang mengabarkan alasan sesungguhnya.

Sebuah studi ilmiah dari 2020 menyimpulkan, cuti menstruasi turut memicu dampak negatif karena "memperkuat pandangan dan perilaku seksis, berkontribusi terhadap stigma seputar menstruasi dan menyuburkan prasangka antargender. Hal ini berdampak negatif terhadap ketimpangan gender dan memperkuat praktik medikalisasi menstruasi."

Prasangka negatif terhadap pengidap menstruasi akut biasanya berpusat pada kerentanan serta rendahnya produktivitas. Adapun medikalisasi menstruasi menempatkan kondisi tersebut sebagai penyakit "yang harus diobati." Menurut studi tersebut, menstruasi akut juga bisa dialami individu nonbiner atau transgender. 

Dalam pengalaman Judy Birch, banyak perempuan di Inggris yang masih mendapat "teguran jika mereka mengambul cuti bulanan." Dalam sejumlah kasus,  cuti menstruasi bisa berujung pada pemecatan. Padahal, hak cuti selama tiga hari yang dicontohkan pemerintah Spanyol sekalipun tidak cukup. "Jika Anda merasakan sakit yang luar biasa setiap bulan, tiga hari bukan jumlah yang berarti."

Adapun bagi Veve Hiptiew, cuti menstruasi "merupakan simbol pengakuan dan dukungan bagi perempun." Menurutnya langkah semacam itu akan menguntungkan perusahaan karena memudahkan karyawan untuk bekerja maksimal. "Tempat kerja atau perusahaan harus mengizinkan perempuan bekerja dan saat yang sama, memainkan peranan sosia, serta perannya sebagai perempuan dan ibu." (rzn/vlz)