1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Perusahaan Ritel Metro Usut Kasus Kematian Buruh Pabrik Pemasok di Bangladesh

14 Mei 2009

Perusahaan ritel raksasa Jerman, Metro mengumumkan menghentikan hubungan kerja dengan pabrik pemasoknya di Bangladesh, yang dituding melakukan pelanggaran hak-hak pekerja, hingga tewasnya seorang buruh.

https://p.dw.com/p/HqcX
perushaan ritel raksasa Jerman, Metro, yang menerima pasokan barang dari pabrik di Bangladesh yang diduga melakukan pelanggaran hak pekerjaFoto: picture-alliance/dpa

Organisasi pemerhati kondisi kerja yang bermarkas di Amerika Serikat, Komite Buruh Nasional NLC menuding telah terjadi perbudakan abad pertengahan dan perampasan hak pekerja di pabrik RL Denim Chittagong, Bangladesh. Pabrik itu banyak memasok produk jeansnya bagi perusahaan ritel internasional Metro Group yang berpusat di Jerman.

Laporan NLC berjudul "Apakah Sehelai Jeans Seharga Nyawa Buruh Perempuan Muda? Presiden Obama Tak Berpikir Demikian", dirilis bertepatan hari ibu sedunia 10 Mei lalu. Laporan ini juga ditujukan untuk menarik eprhatian pemerintahan barack Obama yang negaranya juga merupakan importir garmen terbesar untuk Bangladesh.

Di Jerman, rapat pemegang saham perusahaan Metro Grup di Düsseldorf berlangsung satu jam. Topik penting yang dibahas adalah kematian seorang buruh perempuan berusia 18 tahun, yang bekerja di perusahaan garmen di Bangladesh yang memasok barang mereka ke perusahaan ritel Metro. Media massa memberitakan kematiannya disebabkan oleh tingginya beban kerja di pabrik. Kulsum Fatema, nama pekerja naas itu, harus membanting tulang 80 jam setiap minggunya di pabrik garmen tersebut. Setelah kasus itu terbuka, ketua dewan direksi Metro, Eckhard Cordes kini mengakui secara resmi bahwa di masa lalu sudah terjadi problem-problem serupa yang menyangkut perusahaan pemasok dari Asia Selatan:

„Pemasok di Bangladesh tidak bekerja sesuai dengan standar kami yang cukup tinggi yang kami tetapkan. Ini merupakan hasil penelitian independen tahun 2005.“

Perusahaan garmen pemasok dari Bangladesh tersebut dahulu telah diminta untuk memperbaiki segala keburukan tersebut. Berdasarkan aturan perusahaan, setahun sesudahnya yaitu tahun 2006, seharusnya dilakukan penelitian baru untuk memeriksa ulang. Tetapi tidak dilaksanakan, sebagaimana diakui Cordes di depan para pemegang saham:

"Penelitian tambahan pada tahun 2006 dan tahun berikutnya tidak pernah dilakukan lagi. Dari hasil penelitian internal pertama ditemukan bukti bahwa terjadi kelalaian akibat faktor manusia. Berdasarkan proses yang benar, seharusnya ada penelitian lanjutan, namun tidak dilakukan.”

Kini perusahaan Metro menanggung konsekuensinya. Kerjasama dengan produsen jeans itu langsung dihentikan. Sejumlah produknya ditarik dari pasaran. Selain itu, dilakukan penelitian penyebab kematian pekerja perempuan tersebut oleh komisi internal perusahaan. Hal itu tidak cukup. Juru bicara pemegang saham Metro, Maik Pflaum mengatakan Metro kini tidak boleh mengabaikan begitu saja situasi di perusahaan pemasoknya: „Metro harus bertanggungjawab. Berusaha memperbaiki keadaan buruk ini dan di masa mendatang bekerjasama dengan para pemasok dari Bangladesh, mencegah agar tidak terjadi lagi pelanggaran hak pekerja.“

Organisasi pemerhati kondisi kerja yang bermarkas di Amerika Serikat Komite Buruh Nasional NLC terus menggali kisah kematian buruh perempuan itu. Dilaporkan, pada Desember silam, Kulsum Fatema yang sehari-harinya bertugas menjahit, meminta libur sehari karena terserang penyakit disentri. Bukannya mengizinnya, sang mandor malah menempelengnya. Fatema yang sangat kecapaian pingsan dan didiamkan terbaring di lantai pabrik hingga malam hari. Pekerja lain kemudian mendesak untuk membawanya ke rumah sakit. Namun nyawa Fatema tak tertolong lagi ketika dibawa rumah sakit.

Menurut laporan NLC, perlakuan buruk itu tidak hanya dialami Fatema. Pekerja lain pun banyak yang bekerja hingga 20 jam tanpa henti dan ada juga yang dipukuli. Pekerja yang hamil dipaksa mengundurkan diri tanpa mendapat tunjangan melahirkan. Sejauh ini induk perusahaan RL Denim, jeans Express Limited membantah informasi tersebut.


Christoph Ulrich/Ayu Purwaningsih

Editor: Agus Setiawan