1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pertumbuhan atau Pelestarian Lingkungan

Andreas Becker18 Juni 2013

Bisakah pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan berjalan berdampingan? Ada pihak yang berbicara tentang pertumbuhan hijau. Apakah ini tidak merupakan unsur yang bertentangan?

https://p.dw.com/p/18r8m
Visitors wearing masks are seen at the Tiananmen Square in heavy smog in Beijing, China, 28 February 2013. Beijing warned residents to stay indoors as air pollution exceeded hazardous levels five days before Chinas national legislature begins its annual meeting, with thousands of delegates expected in the capital. Concentrations of PM2.5, fine air particles that pose the greatest health risk, rose to 469 micrograms per cubic meter at 10 a.m., near Tiananmen Square compared to an average of 275 in the past 24 hours, the Beijing government reported. The World Health Organization recommends 24-hour exposure to PM2.5 of no higher than 25. The level dropped to 163 at 12 p.m. The country opens its annual National Peoples Congress on March 5 to set this years growth target and discuss policies.
Foto: picture-alliance/dpa

Pada era perubahan energi, Jerman akan mengalihkan pasokan energinya secara bertahap pada sumber berkelanjutan, misalnya tenaga surya, air dan angin. Banyak pihak melihatnya sebagai langkah penting menuju cara hidup yang ramah lingkungan.

Namun, Karl-Heinz Paquè, guru besar ilmu Ekonomi di Universitas Magdeburg berpendapat lain: "Jika kita di Jerman mengembangkan program itu, dampaknya nyaris tidak ada secara global, karena kita terlalu kecil. Yang menentukan adalah apa yang terjadi di negara-negara lain yang mengikuti program Eropa. Karena ini menyangkut dua pertiga dari seluruh jumlah penduduk dunia."

Mengikuti jalan Eropa: Ratusan tahun lamanya Eropa mengupayakan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sebelum menemukan kecintaan terhadap lingkungan alam. "Prioritas terhadap perlindungan alam adalah sesuatu yang datang bersama kesejahteraan", kata Paquè kepada Deutsche Welle. "Di negara kita, ini dimulai tahun 1970-an, tidak sebelumnya. Di China baru sekarang, India perlu lebih lama lagi."

Kebangkitan Kembali Batu Bara

Bagi Eropa yang makmur dan peduli lingkungan ada cukup banyak alasan untuk gelisah. Sumber energi yang dianggap oleh kebanyakan negara Eropa sebagai kotor, kini naik daun di banyak negara lain di dunia. "Batu bara berada di ambang renaisans terbesarnya dalam sejarah industri", kata Ottmar Edenhofer, wakil Direktur dan kepala pakar ekonomi Institut Penelitian Dampak Iklim di Potsdam.

Tahun 1990-an batu bara di sejumlah besar negara diganti dengan gas. Tetapi kini terlihat perubahan tren, karena batu bara "sangat mampu bersaing", tambah Edenhofer. "Terutama pertumbuhan ekonomi di China sangat ditentukan melalui batu bara yang murah. Serupa dengan di India, Afrika Selatan dan beberapa negara di Eropa Timur."

ARCHIV - Ottmar Edenhofer Chefökonom des Potsdam-Instituts für Klimafolgenforschung, hinter einem Globus (Archivfoto vom 23.02.2007). Foto: Nestor Bachmann dpa/lbn (zu dpa-Interview vom 11.12.2011) +++(c) dpa - Bildfunk+++
Ottmar EdenhoferFoto: picture-alliance/dpa

CO2 terbentuk melalui pembakaran batu bara dan sumber energi fosil lainnya. Ini membebani atmosfer dan diperkirakan memicu perubahan iklim. Jika negara-negara tidak melakukan apa pun untuk melawannya, dikhawatirkan suhu akan naik secara rata-rata per tahun 5,3 derajat ada akhir abad ini. Ini akan berakibat fatal bagi lingkungan, demikian menurut Badan Energi Internasional (IEA). Hubungannya dengan penurunan harga bahan baku, bisa disimak di halaman dua.

Namun semua perundingan mengenai kesepakatan perlindungan iklim internasional, hingga sekarang gagal. Begitu juga dengan masalah pertumbuhan ekonomi adalah sulit. Apakah itu terkait dengan batas maksimal gas rumah kaca atau perdagangan emisi, kepentingan-kepentingan negara sangat berbeda satu dengan lainnya.

Penurunan harga bahan baku

"Kesepakatan iklim global setidaknya berpotensi untuk mengurangi penggunaan batu bara dan minyak", kata Carl Christian von Weizsäcker dari pusat penelitian aset komunitas di Max Planck Institut, Bonn. "Pasalnya, melalui kesepakatan, harga sumber daya di negara-negara terkait akan turun. Dan ini akan membuat lebih sulit menemukan kesepakatan."

Tambahan lagi, posisi perundingan berubah. Misalnya, sejak ditemukan cadangan minyak dan gas di Kenya, Uganda dan Mozambik, serta sejak eksploitasi pasir minyak di Kanada lebih menguntungkan, negara-negara ini tidak begitu berminat menyepakati sebuah perjanjian iklim. Setiap pembatasan pencemaran dilihat sebagai pengurangan nilai bahan baku mereka.

Setelah gagalnya KTT Iklim di Kopenhagen tahun 2009, peluang menemukan kesepakatan dalam waktu dekat ini sangat kecil. Demikian menurut perkiraan pakar. Yang lebih tidak mungkin adalah bahwa negara-negara sepakat untuk mengurangi atau bahkan menghentikan pertumbuhan ekonominya. Cita-cita untuk hidup seratus persen tanpa pertumbuhan ekonomi sangat meluas di kalangan gerakan lingkungan di negeri industri barat.

Carl Christian von Weizsäcker spricht am Dienstag (24.01.2012) auf einer Pressekonferenz in München (Oberbayern). Der Volkswirtschaftler ist seit seiner Emeritierung im Jahr 2003 "Senior Research Fellow" am Bonner Max-Planck-Institut zur Erforschung von Gemeinschaftsgütern. Foto: Andreas Gebert dpa/lby
Carl Christian von WeizsäckerFoto: picture-alliance/Andreas Gebert

Lebih Baik tanpa Pertumbuhan?

Tapi dilihat secara global, zero-pertumbuhan bukan merupakan opsi yang serius. "Perbedaan yang sangat besar antara Afrika dan Eropa atau antara Afrika dan Amerika, tidak dapat diterima", kata Ottmar Edenhofer. "Amerika Serikat harus mengurangi 80 persen pendapat per kapitanya untuk dapat sejajar dengan standar kehidupan penduduk Afrika. Konflik sosial akan menjadi sangat besar."

Jadi, pembatasan pertumbuhan secara terencana tidak akan terjadi. Untuk saat ini juga tidak bagi rencana perlindungan iklim. Upaya regional, misalnya terkait perdagangan emisi di Eropa, tidak atau tidak cukup berfungsi. Karena itu pihak tertentu melihat dunia bergerak langsung menuju kehancuran.

Karl-Heinz Paqué, Otto-von-Guericke-Universität Magdeburg, Lehrstuhl für Internationale Wirtschaft. Copyright: Viktoria Kühne
Karl-Heinz Paque, Universitas MagdeburgFoto: Viktoria Kühne

Guru besar ilmu Ekonomi, Karl-Heinz Paqué mencurigai prediksi. Perkiraan terpercaya itu tidak mungkin, ujarnya. "Bayangkan, seandainya kita melakukan prediksi mengenai perkembangan dunia pada tahun 1913, 100 tahun yang lalu, artinya hanya tiga generasi, dengan standar pengetahuan teknologi saat itu," tambahnya, "apa yang terjadi sejak itu melampaui kemampuan imajinasi kita. Karena itu kita harus hati-hati dengan perkiraan."

Paquè menyimpulkan, tak perlu panik. Manusia akan mencari jalan keluar dari permasalahan. Kita hanya dapat berharap bahwa prediksi Paquè ini tidak salah.