1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pertaruhan Masa Depan Indonesia

7 Juli 2014

Rakyat Indonesia bersiap menuju tempat pemungutan suara 9 Juli mendatang untuk memilih presiden baru, diantara dua kandidat yang mewakili dua visi bebeda tentang masa depan.

https://p.dw.com/p/1CWme
Foto: ROMEO GACAD/AFP/Getty Images

Bekas jenderal Prabowo Subianto, -- seorang veteran militer yang pernah kawin dengan putri bekas diktator Suharto-- dilihat sebagai representasi penjaga elit lama.

Meski terpaut hanya sembilan tahun lebih muda, namun gubernur Jakarta Jokowi Widodo atau Jokowi, kandidat PDI-Perjuangan, dianggap sebagai bagian dari pelopor demokrasi baru.

Jajak pendapat terakhir menunjukkan persaingan diantara kedua kandidat itu semakin tipis. Sejumlah lembaga polling meyakini bahwa Prabowo berhasil menarik para swing voters.

Indonesia ”menghadapi pilihan mencolok yang akan menentukan, tidak hanya kesehatan demokrasi Indonesia, tapi juga apakah (demokrasi) akan bertahan,” kata Edward Aspinall, seorang ahli Indonesia dari Australian National University.

“Kedua kandidat… merupakan wujud dua aspek yang berbeda dari sejarah politik Indonesia mutakhir, dan mereka berjanji akan membawa negara ini ke arah yang sangat berbeda,” kata dia.

Jokowi, berjanji mengedepankan pertumbuhan ekonomi yang kuat, memperbaiki infrastruktur dan perumahan yang terjangka, jaminan sosial dan pendidikan dasar gratis untuk semua orang.

Saingannya, Prabowo, bersumpah akan melindungi sumber daya alam Indonesia dari eksploitasi perusahaan asing, dan akan menghentikan korupsi.

Prabowo, yang kampanyenya didukung penuh saudara laki-lakinya yang konglomerat Hashim Djojohadikusumo, berjanij akan menaikkan pertumbuhan ekonomi diatas 10 persen, menciptakan 2 juta lapangan kerja setiap tahun dan menghentikan kebocoran anggaran yang ia sebut bernilai seribuan trilyun rupiah, yang kemudian dikoreksi oleh tim kampanyenya yang menyebut bahwa yang dimaksud dengan kebocoran itu adalah potensi kehilangan pendapatan negara.

Masa depan demokrasi

Kecemasan atas pencalonan Prabowo, antara lain didasarkan atas pendekatannya dalam soal demokrasi.

“Demokrasi kita ini sangat mahal. Percayalah kepada saya, saya paham itu,“ kata Prabowo baru-baru ini. “Jadi kita harus belajar dari Eropa, dari Belanda, dari Inggris, kita ingin belajar dari India, kita ingin belajar dari negara-negara lain, bagaimana melaksanakan demokrasi yang sesuai dengan kondisi ekonomi kita.“

“Jika ia (Prabowo) terpilih, saya takut tidak akan ada lagi demokrasi seperti saat ini,“ kata Andina Hutabarat, 21 tahun, seorang pendukung Jokowi yang akan memilih untuk pertama kalinya.

Sementara para pengkritik Jokowi mengatakan bahwa dia tidak siap untuk tingkat politik nasional, karena hanya menjadi gubernur Jakarta untuk dua tahun.

“Prabowo akan menjadi presiden yang lebih baik karena dia cerdas dan punya pemikiran global,“ kata Budi Alamsyah, seorang mahasiswa berusia 25 tahun.

“Ia tidak akan mempermalukan Indonesia di tingkat nasional, tidak seperti Jokowi yang tidak bisa berbahasa Inggris dengan baik.”

Para pendukung Jokowi mempersoalkan kampanye fitnah, yang telah menyebabkan dukungan atas Prabowo bertambah. Kampanye fitnah yang menyebar lewat tabloid, blog dan media sosial menyebut Jokowi keturunan Cina dan beragama Kristen, dengan orangtua berlatar komunis.

Tuduhan yang dibantah oleh Jokowi dalam kampanye.

“Apakah saya kelihatan seperti punya orangtua dari Singapura?“ tanya Jokowi kepada para pendukungnya dalam sebuah kampanye. “Saya mungkin punya tampang orang desa, tapi saya punya otak internasional.“

Dalam masa tenang ini, Jokowi melaksanakan umroh dengan didampingi oleh istri dan ulama besar Quraish Shihab dan KH Hasyim Muzadi.

ab/ap (dpa,ap,rtr)