1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pers Sudan Diawasi dengan Ketat

24 September 2010

Jumat (24/09), sejumlah petinggi dunia bertemu di New York untuk membahas masalah Sudan. Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Clinton menyebut, Sudan adalah bom waktu yang dapat meledak tiap saat.

https://p.dw.com/p/PM8F
Presiden Sudan al-Bashir dengan latar belakang peta wilayah SudanFoto: DW/AP

Kekuatiran meningkat menjelang dua referendum yang dijadwalkan untuk 9 Januari mendatang. Kawasan Sudan Selatan dan Abyei menggelar pemungutan suara untuk menentukan masa depannya. Referendum ini merupakan bagian kesepakatan perdamaian tahun 2005 yang mengakhiri perang saudara Sudan, perang yang menewaskan dua juta orang.

Menurut diplomat dan pejabat PBB, persiapan untuk referendum berjalan lamban dan mungkin tidak selesai tepat waktu. Di antaranya disebutkan bahwa pendataan warga dengan hak pilih belum dimulai dan belum ditarik garis perbatasan antara Sudan Utara dan Selatan. Sejumlah diplomat menduga bahwa Presiden Omar al-Bashir sengaja tidak serius mempersiapkan referendum yang menentukan masa depan Sudan ini.

Kritik lebih keras terdengar dari Organisasi HAM Amnesty International. Jumat (24/09) ini, Amnesty menuntut agar pihak berwenang Sudan menghentikan intimidasi dan tekanan terhadap wartawan yang meliput situasi di Sudan pra-referendum. Rania Rajji, periset Amnesty menegaskan, suatu referendum kredibel tidak dapat digelar dalam lingkungan di mana kebebasan berpendapat dilanggar secara terbuka.

Amnesty melaporkan bahwa dinas rahasia Sudan memberlakukan pengawasan ketat terhadap pers di seluruh Sudan Selatan. Di masa lalu, Sudan memang memiliki catatan buruk terkait kebebasan pers dan kebebasan berpendapat. Menyusul pemilu presiden April 2010, lima orang jurnalis ditahan karena mempublikasikan laporan dan analisa hasil pemilu di surat kabar Rai Al Shaab. Dua di antaranya disiksa dalam tahanan. Di antara lima wartawan tersebut hanya satu dibebaskan, sisanya diajukan ke pengadilan dengan tuduhan menyebarkan berita bohong. Di empat kota besar Sudan, siaran radio Inggris BBC juga dihentikan sejak Agustus lalu karena dikatakan melanggar kesepakatan dengan pemerintah Sudan.

Mengingat gentingnya situasi ini, petinggi dan diplomat yang bertemu di New York Jumat (24/09) ini bertujuan untuk meningkatkan tekanan terhadap pemerintah Sudan untuk menjamin bahwa referendum awal tahun 2011 berjalan lancar dan kredibel. Pekan lalu, Amerika Serikat, Inggris dan Norwegia mengirimkan surat kepada pemimpin Sudan yang mendesak agar jadwal referendum yaitu 9 Januari mendatang tetap dipertahankan.

Sudan merupakan negara produsen minyak penting yang antara lain memasok minyak ke Cina. Letak strategis negara ini, yaitu dekat Somalia dan Republik Demokratik Kongo, juga memunculkan kekuatiran akan kelancaran jalannya referendum.

afpe/amnesty international/UN press service/ZER/HP