1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Perpustakaan, Jantung Peradaban Kita

Zacky Khairul Umam6 September 2016

Membaca adalah pengalaman tak tepermanai. Karena itu, jangan lewatkan untuk menikmati detik-detik membaca sebagai penyingkapan pengetahuan dan wawasan yang bersifat personal. Berikut opini Zacky Khairul Umam.

https://p.dw.com/p/1Jst5
Bildergalerie Timbuktu Restauration jahrhundertealter Manuskripte
Foto: CSMC

Jika anda, terutama tokoh publik dan pejabat, berkunjung ke sebuah kota di negara maju, kurang afdal jika tak menginjakkan kaki ke perpustakaan umum. Hanya untuk melihat-lihat saja tidak mengapa. Syukur-syukur Anda mendaftar sebagai anggota, barang untuk sebulan saja. Setidaknya, Anda memiliki souvenir berupa satu kartu perpustakaan ternama di dunia.

Lebih tinggi lagi derajatnya jika Anda menelusuri rak-rak buku, sesuai dengan bidang yang anda minati, dan lalu mengambil sebuah buku berdasarkan momen eureka, “Aha ini dia buku bagus!” Membaca adalah pengalaman tak tepermanai. Karena itu, jangan lewatkan untuk menikmati detik-detik membaca sebagai sebuah revelation yang bersifat personal.

Bagi pencinta buku dan pengetahuan, mereka bisa betah menempati level tertinggi sebagai pembaca sekaligus peneliti. Tak hanya buku cetak saja, mereka juga harus memasuki ruangan buku langka dan koleksi arsip serta manuskrip. Memasuki ruangan ini seperti menemukan harta karun, dan tenggelam di dalamnya adalah sebuah keasyikan. Ada kalanya mereka terjerembab ke dalam teks-teks klasik yang ditulis tangan disertai dengan hiasan iluminasi yang indah. Ada kalanya pula mereka cukup bahagia melihat buku sebagai codex yang hidup: aspek materialitas buku yang mempunyai nilai historisnya sendiri.

Zacky Khairul Umam
Penulis: Zacky Khairul UmamFoto: Zacky Khairul

Gambaran seperti ini tidak hanya dijumpai di kota-kota Eropa modern. Jika anda berziarah ke dunia Muslim, seperti Teheran, Kairo, dan Istanbul, anda dapat menjumpai himpunan pembaca yang berebut tempat duduk di banyak perpustakaan umum. Perempuan pun menghiasai, bahkan sering mereka lebih banyak sebagai pembaca ketimbang lelaki. Memang, tak seperti di Eropa atau Amerika, di negeri Muslim, mahasiswa pascasarjana secuil yang mendapatkan meja kerja. Sehingga mereka berbondong-bondong untuk berebut tempat duduk di perpustakaan umum.

Di antara mereka tak secuil yang membaca arsip dan manuskrip, seringkali dengan paleografi aksara Arab yang tak mudah diungkap. Ini mengingatkan kita pada sosok cantik jelita Lubna dari Kordoba, ahli tata bahasa dan penyair yang sekaligus menjabat sebagai kepala perpustakaan. Pada abad ke-10, Lubna beserta figur Yahudi terkemuka Abu Yusuf ben Yitzhak ben Ezra, beken sebagai Hasdai ben Shaprut, mendirikan perpustakaan agung di Madinat al-Zahra, kota-istana menawan yang disponsori khalifah Abdurrahman III al-Nasir.

Tak salah jika menganggap perpustakaan sebagai jantung dari peradaban Islam. Konrad Hirschler, guru besar sejarah Islam di Berlin, mengungkap kajian menarik. Pada abad ke-13, sebuah perpustakaan minor saja menyimpan 2000 buku. Biasanya banyak buku/manuskrip terdiri dari beberapa judul, entah dengan penulis sama, tema serupa, atau penulis berbeda. Hirschler mengemukakan bahwa jumlah ini sangat fantastik jika dibandingkan dengan banyak perpustakaan Eropa yang masing-masing hanya menyimpan kurang lebih 500 buku. Menjelang akhir abad ke-15, himpunan perpustakaan Universitas Cambridge menyimpan kurang dari 2000 judul. Jika sebuah perpustakaan kecil di Damaskus saja menyimpan sebanyak itu, bagaimana dengan perpustakaan besar?

Pentingnya arsip

Gambaran perpustakaan masa lalu itulah yang kini terus dihidupkan di kota-kota negeri Muslim. Terlebih ketika abad ke-19, berkat pengaruh Eropa, kesadaran arsip menjadi lebih penting lagi sebagai salah satu syarat modernitas. Sentuhan Eropa yang mulai bergeliat ikut mempengaruhi perkembangan perpustakaan di dunia Muslim, terutama karena kolonialisme atau misi Katolik terpelajar seperti ordo Jesuit dan Dominikan. Begitu halnya di Indonesia, perpustakaan dan arsip nasional kita, misalnya, merupakan warisan dari Belanda. Namun di dalamnya, jika kita sedikit mau berkunjung ke sana, kita menjumpai banyak koleksi yang dihimpun dari banyak perpustakaan di Aceh, Banten, dan pusat-pusat keislaman lainnya.

Aceh, wilayah yang dulu menguasai dunia Melayu, baik secara politik maupun transmisi pengetahuan, menyimpan khazanah perpustakaan yang sebetulnya menarik diungkap sebagai leitmotiv untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa.” Dari Dayah Tanoh Abee, yang sempat kami kunjungi tahun lalu, menyimpan banyak sekali data-data tentang dinamika kebudayaan Muslim di Samudera Hindia.

Kita perlu meneladani figur nasional semacam Prof. Ali Hasjmy, yang tak hanya tekun menulis, melainkan pula mengayomi pelestarian budaya tulis, terutama naskah-naskah terbengkalai di Aceh. Kawan baik saya yang sedang mendalami filologi Aceh di Hamburg mengungkap kegelisahannya tetang praktik jual-beli manuskrip ke negeri jiran yang sangat haus akan identitas kebangsaan.

Jika upaya memelihara manuskrip saja tak mampu, bisa dipastikan bahwa kemampuan kita dalam mengelola perpustakaan masih sangat rendah. Kala Mas Jokowi masih menjabat sebagai gubernur Jakarta, ada slentingan berita beredar bahwa pejabat daerah yang malas akan dimutasikan ke perpustakaan. Ini menyiratkan sebuah pesan gamblang: perpustakaan adalah lembaga terbelakang yang tak punya arti.

Pantas saja jika literasi bangsa kita rendah, baik literasi aksara dan/atau pengetahuan Arab maupun Latin. Anak-anak sekolah, ilustrasi lainnya, lumrahnya hanya menghapal judul karya sastra kita, dan sedikit yang disuguhkan untuk membacanya tuntas.

Belum banyak penulis di tanah air yang menulis novel yang bisa menjebak pembacanya ke dalam dunia perpustakaan seperti novelis Orhan Pamuk, Jostein Gaarder, atau Donna Leon, menyampaikan pesan lain tentang realitas sosial kita; yakni, larut dalam dunia buku identik dengan manusia kuno dengan masa depan yang tak menjanjikan. Kita terjebak dalam tren digital sehingga lebih mementingkan untuk meramaikan perpustakaan digital.

Bagaimanapun, seperti di negeri maju, menghidupkan perpustakaan umum tetap yang terpenting. Kita, setidaknya di kota-kota besar, orang berlomba-lomba mengoleksi buku dan menyusun perpustakaan pribadi, kemudian menjadi prestise sosial tersendiri. Perpustakaan swasta yang baik tak banyak yang bertahan lama.

Abnormal tanpa perpustakaan berkualitas

Sedikit yang berupaya untuk menghidupkan perpustakaan sebagai kristal pengetahuan seperti Universitas Indonesia, meskipun masih banyak pekerjaan untuk menghidupkan jiwanya. Dan ironisnya, dari banyaknya anggaran pendidikan kita, banyak terserap ke pembentukan lembaga baru, tetapi masih kurang untuk memperbesar kapasitas perpustakaan beserta sumber daya manusia di dalamnya.

Seorang kawan bahkan membisik, proyek pengadaan buku di kampus-kampus diselenggarakan secara asal-asalan. Tidak heran jika dunia pendidikan kita umumnya masih membisu pada tentara yang membubarkan perpustakaan jalanan di Bandung, 20 Agustus 2016 silam.

Detak jantung peradaban kita bisa tiba-tiba abnormal tanpa kualitas perpustakaan yang memadai. Apakah kita akan menggali khazanah keislaman tentang pustaka yang sangat kaya itu, atau meniru Barat mengenai manajemen perpustakaan mutakhir, adalah sebuah pilihan atau perpaduan yang tak bakal terwujud tanpa adanya kehendak, terutama kehendak politik dari negara.

Penulis: Zacky Khairul Umam

Ketua Tanfidz Nahdlatul Ulama di Jerman, kandidat doktor di Freie Universitaet Berlin.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.