1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Perlindungan Anak Belum Cukup Diperhatikan di Indonesia

20 November 2009

Indonesia meratifikasi konvensi hak anak tahun 1990, hanya satu tahun setelah dicanangkan PBB 20 tahun lalu. Pengamat memandang, pemerintah sejauh ini belum memberi perhatian cukup terhadap masalah perlindungan anak.

https://p.dw.com/p/Kc8Z
Anak-anak yang tinggal di daerah kumuh JakartaFoto: AP

Di atas kertas, Indonesia mencatat sejumlah kemajuan penting dalam merumuskan undang-undang dan perangkat hukum yang membela kepentingan anak. Tetapi di lapangan, situasinya lain. Laporan terbaru Badan PBB untuk masalah anak, UNICEF yang diluncurkan bertepatan dengan peringatan 20 tahun Konvensi Hak Anak menunjukan, seperempat jumlah anak Balita di Indonesia mengalami kekurangan gizi. Selain itu, 20 persen anak tidak memiliki akses air bersih dan 40 persen kehilangan kesempatan sekolah.

Pakar masalah anak dari Universitas Atma Jaya, Profesor Irwanto mengungkapkan, kondisi ini juga terbaca dari laporan pemerintah mengenai program pembangunan nasional bagi anak, yang belakangan menunjukan kecenderungan menurun.

Profesor Irwanto juga mengkhawatirkan keberadaan sejumlah undang-undang yang bertentangan dengan semangat perlindungan anak. Seperti UU perkawinan, yang membolehkan anak usia dibawah 16 tahun menikah, UU pengadilan anak, Undang-Undang Narkotika, yang mengkriminalkan anak pengguna narkoba, serta sejumlah Peraturan Daerah yang mengkriminalkan anak anak yang terpaksa menjadi pelacur.

Sekretaris Jenderal Komisi Nasional Perlindungan Anak, Aris Merdeka Sirait mengungkapkan sejumlah temuan lain yang lebih memprihatinkan. "Untuk eksploitasi ekonomi misalnya, mencapai 6,5 juta, anak terpaksa bekerja karena kemiskinan. Dan 2,1 juta itu berada pada situasi yang tidak bisa diterima oleh akal sehat manusia. Misalnya menjadi pembantu rumah tangga, bekerja di wilayah-wilayah prostitusi, lalu bekerja dalam situasi buruk berhadapan dengan bahan kimia, baik itu di perkebunan maupun pertanian. Untuk anak yang mengalami Traffiking untuk tujuan seksual komersial itu mencapai 70 sampai 90 ribu. Lalu kemudian korban kekerasan, ada 21 ribu anak lebih mengalami kekerasan seksual di negeri ini."

Di sisi lain, pemerintah terus menegaskan komitmennya meningkatkan perlindungan hak anak. Langkah terbaru adalah dengan mengubah kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan menjadi KKementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Sekjen Komnas Anak Aris Merdeka Sirait memuji langkah itu, namun menurutnya, hal itu tidak cukup.

Aris Merdeka Sirait, menekankan, eksploitasi anak terkait erat dengan masalah kemiskinan. Karena itu, sepanjang kemiskinan di Indonesia belum teratasi, maka persoalan anak akan tetap menjadi masalah serius.

Zaki Amrullah

Editor: Yuniman Farid