1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Perempuan Finlandia Semakin Percaya Diri

27 November 2007

Politik masyarakat Finlandia dinilai sebagai panutan, jika menyangkut pendidikan dan persamaan gender. Meskipun demikian ada pula ketidak puasan di antara perempuan Finlandia.

https://p.dw.com/p/CTdo
Finland's Prime Minister Matti Vanhanen, bottom centre, stands with his 12 women Cabinet ministers in Helsinki, Finland, Thursday, April 19, 2007. From left, front row, Liisa Hyssala, Minister for Social Affairs and Health, Suvi Linden, Minister for Communications, Mari Kiviniemi, Minister for Public Administration and Local Government, Vanhanen, Sirkka-Liisa Anttila, Minister for Agriculture and Forestry, Tarja Cronberg, Minister for Labour, and middle row, Anu Vehvilainen, Minister for Transport, Sari Sarkomaa, Minister for Education, Astrid Thors, Minister for Immigration and European Affairs, Anne Holmlund, Minister for Interior, and back row, Paula Lehtomaki, Minister for Environment, Tuija Brax, Minister for Justice and Paula Risikko, Minister for Health and Social Services. Vanhanen's new, center-right government, with a female majority for the first time in Finland, took office Thursday. (AP Photo/LEHTIKUVA, Marja Airio) ** FINLAND OUT NO SALES **
Pemerintahan Finlandia yang didominasi perempuanFoto: AP

Dengan angka kelahiran bayi 1,8 dari setiap perempuan, Finlandia merupakan salah satu negara dengan tingkat kelahiran bayi tertinggi dan jumlah perempuan yang bekerja di Eropa. Selain itu pemerintah di Helsinki memiliki 12 menteri perempuan dan lebih dari 50 persen perempuan di Finlandia menempuh studi di perguruan tinggi.

Tradisi Kerja Perempuan Finlandia

Dalam hidupnya, perempuan Finlandia sudah selalu harus bekerja keras. Apakah sebagai petani, sebagai penjual di pasar atau kemudian pada masa industrialisasi di pabrik dan di kantor. Mereka dikenal rajin dan selalu siap sedia, demikian dituturkan Kaisa Kauppinen dari Institut bagi Tenaga Kerja dan Kesehatan.

Tapi gambaran itu berubah dalam beberapa pekan terakhir ini. Dengan gaji 2000 Euro per bulan, juru rawat Finlandia merasa dibayar di bawah tarif dan melakukan pergerakan. Karena pemerintah tidak mengambil sikap, maka demonstrasi dilakukan oleh seluruh juru rawat di Finlandia. Masyarakat mendukung permintaan kenaikan upah para juru rawat itu.

"Serikat pekerja juru rawat meminta kenaikan gaji 25 persen. Itu jumlah cukup besar dibanding dengan pendapatan mereka sekarang. Uang tambahan itu harus ditanggung pembayar pajak, karena kebanyakan rumah sakit dan pusat-pusat kesehatan dikelola oleh pihak pemerintah kota dan lingkungan. Kami telah melakukan jajak pendapat di antara para pembayar pajak, hasilnya, para pembayar pajak bersedia membayar pajak lebih besar jika hal itu meningkatkan prestasi pelayanan dan bermanfaat bagi para juru rawat. Jika orang yakin bahwa uang itu 100 persen sampai di tangan juru rawat, banyak yang dengan senang hati membayarnya. Tapi di mana pada akhirnya uang itu mendarat, tidak ada yang tahu.“ Demikian diungkapkan Kauippinen.

Hampir 100 persen juru rawat Finlandia terorganisir dalam serikat pekerja dan ketuanya dapat menyampaikan dengan baik alasan permintaan kenaikan upah itu kepada khalayak umum. Demikian penilaian Kaisa Kauppinen. Selain itu dampak aksi mogok kerja dirasakan seluruh masyarakat. Mulai dari bayi yang lahir dini hingga orang berusia lanjut yang butuh perawatan. Walaupun begitu para juru rawat berharap bahwa ancaman mogok kerja cukup memberikan tekanan dan pemerintah akhirnya memenuhi permintaan mereka.

Dominasi Perempuan

Perempuan Finlandia makin percaya diri. Presiden Finlandia, Tarja Halonen dipandang sebagai contoh perempuan di negaranya dan dari 20 menteri di pemerintahan Finlandia lebih dari separuhnya dijabat perempuan. Perempuan Finlandia semakin tersebar di berbagai bidang pekerjaan. Yang paling terlihat pada perguruan tinggi. Di berbagai fakultas perempuan merupakan mayoritas. Demikian dijelaskan psikolog sosial Kaisa Kauppinen.

"40 persen perempuan Finlandia yang berusia antara 25 hingga 59 tahun, berpendidikan sangat baik, artinya memiliki ijazah perguruan tinggi. Sementara hanya sepertiga pria pada kelompok usia itu yang lulus perguruan tinggi. Di universitas-universitas dapat diamati, di mana-mana perempuan dan setiap tahun jumlah ini meningkat. Jika saya di jurusan psikologi sosial melihat mahasiswa pria, itu sudah pengecualian. Meskipun demikian untuk masa depan kurang bagus, bila di bidang psikologi hanya digeluti oleh perempuan. Untuk ke depan pria juga akan memerlukan konseling, dan jauh lebih baik bila kedua jenis kelamin menaruh minat di bidang psikologi dan kedokteran.”

Ibu Rumah Tangga

Perubahan radikal ini baru dimulai beberapa tahun terakhir. 20 tahun lalu misalnya, prosentasi perempuan yang studi kedokteran masih kurang dari 30 persen. Sekarang sudah lebih dari 60 persen. Meskipun demikian perempuan Finlandia juga mengenal fenomena transparan dalam dunia karier. Di Finlandia perempuan yang memegang jabatan memang angkanya lebih tinggi di seluruh Eropa. Tapi tetap prosentasi profesor di perguruan tinggi hanya 25 persen. Sementara rata-ratanya di Eropa 15 persen.

Di bidang manajemen situasinya mirip. Hal itu antara lain terletak pada struktur para pekerja di Finlandia. Demikian dikatakan Birgit Pfau-Effinger dari Universitas Hamburg. Perbedaan antara Jerman dan Finlandia sudah dimulai dengan sejumlah definisi, misalnya ibu rumah tangga.

"Di Finlandia pengertian ibu rumah tangga misalnya perempuan petani yang tinggal di rumah, tapi di kebunnya sendiri, melakukan banyak aktivitas kerja. Petani perempuan ini memiliki posisi yang jauh berbeda dalam perekonomian dibanding ibu rumah tangga di Jerman. Di Jerman ibu rumah tangga termasuk kelompok kelas menengah dan pekerjaannya hanya mengurus rumah dan anak.“

Keluarga dan Pekerjaan

Ibu rumah tangga di golongan kelas menengah adalah fenomena kota-kota besar di Jerman sejak abad ke-19. Karena di Finlandia proses industrialisasi dimulai jauh lebih lambat dibanding di Jerman, sampai sekarang tradisi petani masih dapat dirasakan di sana. Keluarga dipandang sebagai satu kesatuan, dan suami istri yang bekerja, meliputi 60 persen keluarga di Finlandia.

Pakar sosiologi menyebut fenomena ini sebagai perekonomian keluarga. Keluarga adalah kepentingan seluruh masyarakat. Keluarga tanpa anak di Finlandia merupakan kartu buruk bagi karir. Di Jerman situasinya justru kebalikannya. Siapa yang harus mengurus anak, memiliki kartu yang buruk di pasar tenaga kerja.

Anak atau Karier

Kondisi nyata di Jerman dimana pekerjaan dan keluarga tidak bisa dipadukan merupakan letak masalahnya, dan ini turut mempengaruhi rendahnya tingkat kelahiran bayi, yakni rata-rata 1,2 setiap perempuan. Demikian disampaikan Uta Kletzing dari Akademi Eropa untuk Perempuan dalam politik dan ekonomi.

"Di Jerman orang selalu dihadapkan pada keputusan ya atau tidak. Situasi ini juga semakin banyak dihadapi para pria yang memegang jabatan. Kami mengamati, bahwa keputusan, yang selama ini selalu menjadi masalah perempuan, sementara ini juga dihadapi para pria. Juga jumlah anak yang dimiliki pria pemegang jabatan pimpinan semakin sedikit. Bagi Jerman ini bisa dikatakan, anak-anak menghambat kemajuan karier kerja orang tuanya dan di bidang manajemen sama sekali tidak mungkin. Tapi sebaliknya juga berlaku: 37 persen para pemegang jabatan mengatakan, mereka tidak memiliki anak karena mereka tidak dapat memadukan hal itu dengan pekerjaan.”

Hasil studi tersebut membuat tercengang para pakar di Finlandia. Hal seperti itu tidak mungkin terjadi di negaranya. Bahkan pria tanpa anak pun akan berkurang peluangnya untuk meraih jenjang karier.