1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Perang Melawan Lelucon

Andy Budiman12 April 2013

Apa jadinya jika lelucon dianggap merongrong kekuasaan. Di Mesir, seorang komedian diajukan ke pengadilan karena dianggap menghina presiden dan Islam.

https://p.dw.com/p/18Eps
Foto: DW

Bagi para bigot tertawa bisa dianggap sebuah tindakan subversif.

Contoh paling sempurna adalah Mesir yang kini dikuasai kelompok Islamis: Ikhwanul Muslimin dan kaum Salafi.

Awal April, Bassem Yusuf, seorang komedian terkenal diajukan ke pengadilan. Tuduhannya serius: menghina Presiden Mursi dan Islam.

Bassem adalah superstar televisi yang acara komedinya ditunggu puluhan juta orang Mesir setiap Jumat malam. Muda, cerdas dan yang paling penting: lucu. Ia mengajak orang Mesir menertawakan Presiden, para Imam, dan juga diri mereka sendiri.

Tertawa adalah obat mujarab bagi rakyat Mesir, yang kini cemas karena harga-harga terus melambung, karena arah perubahan yang semakin tidak jelas akan ke mana.

Lebih penting lagi, saling menertawakan adalah bagian dari latihan berdemokrasi: untuk menguji keluasan jiwa.

Tapi kaum fanatik tidak suka itu.

Lelucon menertawakan dunia yang retak, sementara kaum fanatik ingin menegakkan kesempurnaan. Itu membuat mereka tidak pernah cocok satu sama lain.

Seperti dialog The Name of the Rose saat William of Baskerville bertanya kepada Jorge de Burgos pendeta fanatik yang membunuh para biarawan karena sebuah buku lelucon: "Tapi apa yang menakutkan dari tertawa?“

Burgos, sang bigot itu menjawab: “Tertawa membunuh rasa takut, dan tanpa rasa takut tidak ada Iman. Kalau manusia tidak lagi takut kepada Setan, maka mereka tidak akan lagi membutuhkan Tuhan“.

Dari abad pertengahan di novel Umberto Eco hingga Mesir hari ini, kita terus menyaksikan kaum fanatik yang tidak pernah bosan memerangi lelucon.