1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kampf gegen Quecksilber aus Kohlekraft

23 Maret 2012

Unsur air raksa mudah menguap dan tergolong racun yang merusak sistem saraf. Kini dicanangkan pengurangan emisi air raksa pembangkit listrik batu bara dengan teknik yang dikembangkan industri kimia Jerman.

https://p.dw.com/p/14PzU
Foto: picture alliance/dpa

Unsur merkuri atau air raksa yang tergolong logam beracun dan juga berdampak seperti hormon, adalah salah satu emisi gas buang dari pembangkit listrik batu bara. Racun ini gampang menyebar lewat hembusan angin dan mendarat pada rantai makanan. Keracunan berat unsur air raksa atau merkuri lewat rantai makanan, ditunjukkan pada kasus Minamata di Jepang, berupa sindroma kerusakan berat sistem saraf.

Tsukiji Fischmarkt Japan Tokio
Air raksa yang tersedimentasi pada ikan dapat memicu kerusakan saraf.Foto: picture alliance / dpa

“Jika ingin membuat solusi serius masalah air raksa, emisi dari pembangkit listrik batu bara harus diturunkan”, kata Rolf Beckers dari jawatan lingkungan federal Jerman UBA kepada DW. Pembangkit listrik batu bara di Jerman, Amerika Serikat dan di seluruh dunia merupakan penghasil emisi air raksa dalam jumlah amat besar.

Batu bara memang hanya mengandung unsur merkuri dalam kadar amat kecil. Akan tetapi, di seluruh dunia pembakaran besar-besaran batu bara untuk pembangkit listrik telah memproduksi emisi air raksa dalam jumlah amat besar.

Cemaran air raksa amat besar

Badan lingkungan PBB UNEP memperhitungkan, seluruh pembangkit listrik batu bara di dunia setiap tahunnya menghamburkan 500 ton uap air raksa ke udara. Cina menyumbang emisi uap air raksa terbanyak sekitar 100 ton setiap tahun, disusul Amerika Serikat dengan 50 ton. Jerman memproduksi emisi uap air raksa sekitar 5 ton setahunnya.

Jaenschwalde Braunkohlekraftwerk Symbolbild CO2
Pembangkit listrik batu bara di Jerman akan turunkan drastis emisi gas beracun air raksa.Foto: dapd/O. Lang

Untuk mengurangi emisi air raksa dari pembangkit listrik batu bara, Uni Eropa menetapkan ambang batas maksimal 50 mikrogram per meter kubik emisi. Bahkan Jerman menetapkan ambang batas aman lebih ketat, 30 mikrogram per kubik meter emisi gas buangan.

Sejumlah pembangkit listrik batu bara modern di Jerman, yang memasang pembersih asap buangan, terbukti dapat menurunkan emisi air raksa hingga 75 persennya.

Namun Beckers menyebutkan ada kelemahan dari sistem pembersihan gas buang ini. “Sebagian dari logamnya pada saat pembakaran menjadi tidak larut dalam air, sehingga tidak bisa difilter dan dibuang ke atmosfir“, paparnya.

Teknik ampuh dari Bayer Leverkusen

Teknik pembersihan lebih efektif ditawarkan oleh perusahaan dari Jerman. Pakar teknik proses industri di perusahaan kimia Bayer di kota Leverkusen Jerman, professor Bernhard Vosteen, sekitar 12 tahun lalu mengembangkan teknik baru pembersihan emisi air raksa dari pembakaran batu bara.

Rauchgasreinigung Leverkusen bei Köln
Instalasi pembersih gas buang pada pembakaran sampah industri di LeverkusenFoto: CURRENTA

Pada saat membakar sampah industri, Vosteen mengamati, jika sampahnya mengandung logam brom, nyaris tidak ada lagi emisi gas air raksa atau merkuri. “Pada saat pembakaran, merkuri akan bereaksi dengan brom membentuk senyawa garam merkuribromid“, katanya. Garam merkuribromid ini akan terpisah dari emisi gas buang.

Vosteen mengembangkan lebih jauh tekniknya, dan memasarkannya lewat perusahaan yang didirikannya ke seluruh dunia. Terbukti teknik dengan garam brom dari Jerman itu, dapat menurunkan emisi air raksa hingga di bawah satu mikrogram per kubik meter emisi. Juga kandungan logam beracun lainnya per kubik meter emisinya dapat diturunkan secara drastis.

Dewasa ini semakin banyak pembangkit listrik batubara memanfaatkan teknik arang aktif dan garam brom, sebagai unsur pengikat air raksa. Sekitar 12 persen pembangkit listrik batu bara di Amerika Serikat, yang memanfaatkan teknik dari Leverkusen itu sudah memenuhi standar emisi terbaru, dengan ambang batas 1,5 mikrogram air raksa per kubik meter emisi per bulannya.

Ralph Heinrich Ahrens/Agus Setiawan

Editor : Andy Budiman