1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pengurus Gedung Sekolah - Bernd Jahrmärker

Naik turunnya kehidupan sudah ia alami. Ia melihat dirinya sebagai khas orang Jerman. Dan khhas Jerman baginya adalah “Singsingkan lengan baju dan mulai bekerja.”

https://p.dw.com/p/NUCr

Pagi-pagi jam setengah tujuh, suasana kota Göttingen masih sepi. Jalan-jalan di kota kecil yang disebut kota mahasiswa yang terletak di bagian selatan negara bagian Niedersachsen ini masih kosong. Dari jendela rumah pun belum tampak cahaya lampu yang dinyalakan. Tapi di sekolah Hainberg-Gymnasius, sebuah sekolah menengah yang buka sehari penuh di kota itu, suasananya lain. Di sana lampu di atas gerbang masuk sekolah sudah menyala. Suatu petanda bahwa orang sudah lama bangun. Bernd Jahrmärker berjalan melintasi koridor sekolah yang panjang, kadang naik ke lantai atas, kadang turun lagi. Tugas pertama yang dilakukannya setiap hari adalah membuka semua pintu kelas. Jam 7:20 begitu rombongan murid-murid sekolah tiba, ia sudah kembali lagi ke kantornya dan meneguk secangkir kopi.

Dari Tentara Menjadi Pengurus Gedung Sekolah

Setelah itu, ia pergi memeriksa mesin pemanas ruangan di ruang bawah tanah. Namun untuk itu, ia tak perlu melangkah turun. Semua sistem pemanas ruangan di sini dikendalikan dengan komputer. Pengurus gedung sekolah ini menguasai peralatan teknik dengan baik karena dia adalah seorang montir elektromekanik. Sebelum mengawali profesinya ini, ia pernah menjadi tentara. “Ketika berusia 17 tahun saya melamar secara sukarela dan ingin menjadi tentara untuk waktu yang lama,“ ujar pria berusia 53 tahun ini mengenang kembali masa lalunya.

Namun cintanya pada seorang gadis Göttingen membuat seluruh rencananya berantakan.

Bagi Bernd Jahrmärker situasinya menjadi lebih serius. Terutama setelah hubungan mereka berusia 4 tahun, gadis tersebut memberikan ultimatum bagi Jahrmärker untuk memilih: “Menjadi tentara atau pilih saya.” Jahrmärkerpun harus mengambil keputusan, “Saya melayangkan surat pengunduran diri dari dinas ketentaraan dan pindah ke Göttingen untuk hidup bersamanya.“

Cinta mereka kandas di tengah jalan. Walaupun begitu Jahrmärker tetap tinggal di Göttingen. Göttingen dianggapnya sebagai kota kediamannya yang baru. Di sana, saat ini Jahrmärker hidup sendirian di sebuah apartemen seluas 50 meter persegi. Lelaki berusia 53 tahun ini tidak memiliki anak – tentu bukan anak sendiri maksudnya. Karena “anak-anaknya”, anak-anak yang harus diurusnya setiap hari di sekolah ini berjumlah 1.100 orang. Sudah pasti ia sangat sibuk! Lihat saja! Ketika ia baru saja mau berbicara dengan pimpinan sekolah mengenai pengadaan peralatan baru, ia diberitahu bahwa di toilet untuk murid perempuan, air di wastafel tidak keluar. Dan ketika sedang berjalan ke toilet yang dimaksud, ia bertemu seorang montir listrik. Orang itu sedang memasang stecker yang baru di lantai dua dan butuh tangga, tangga yang harus diambil sendiri oleh Jahrmärker dari gudang. Selain itu katanya, di depan rumah ada kiriman yang salah alamat.

Kecelakaan Membuka Babak Baru

Sudah dua belas tahun Bernd Jahrmärker mengatur seluruh prasarana di sekolah menengah Hainberg-Gymnasium. Sebelumnya ia pernah bekerja sebagai ahli eletromekanik dan membuat instalasi peralatan teknis di seluruh Eropa. Namun ketika berusia 40 tahun, hidupnya tiba-tiba berubah. Perubahan tersebut disebabkan oleh satu kecelakaan di lapangan sepak bola. Akibat tubrukan keras dengan seorang pemain, ia jatuh terkapar jatuh. Dari mulutnya mengalir darah. Tiga rusuknya patah. Ujung tulang rusuk malahan menusuk paru-parunya. Ia harus bergulat dengan maut, berbulan-bulan terbaring sakit di rumah sakit.

Setelah sembuh, ia membuat keputusan yang bulat: ia ingin memulai hidup baru sekali lagi. Jahrmärker ingin lebih banyak bergaul dengan orang lain dan memilih menjadi pengurus gedung sekolah. Dari 170 orang yang melamar untuk lowongan ini, ialah yang dipilih. Menurutnya, keputusan yang iia ambil merupakan keputusan yang tepat baginya. “Saya kini hidup bahagia,” katanya. “Nikmati saja hari-hari yang dimiliki.“

Shabnam Nourian/Samuel Limahekin

Editor: Yuniman Farid