1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

280308 USA Irak

28 Maret 2008

24 warga Irak tewas ketika tentara marinir Amerika merangsek rumah mereka, 19 Desember 2005 di Haditha. Empat tentara dihadapkan ke depan pengadilan militer California. Sidang pertama berlangsung Jumat ini (28/03).

https://p.dw.com/p/DWci
Frank Wuterich: tembak dulu, tanya belakangan.Foto: AP

Bagi militer AS, kasus itu mulanya hanya merupakan dampak samping. Beberapa warga sipil Irak tewas akibat bom pemberontak, begitu penjelasan resminya. Lainnya tewas dalam baku tembak antara tentara Amerika dan warga Irak bersenjata.

Namun, bulan Maret 2006 majalah Time menurunkan laporan yang berbeda. Konvoi marinir sebetulnya masuk dalam perangkap, seorang tentara tewas karena ledakam bom, dua lainnya terluka. Marah menyaksikan kematian rekannya, para tentara menyerbu ke tiga rumah di sekitar lokasi dan menembaki penghuni, tanpa mendapat perlawanan.

Pemimpin pasukan Frank Wuterich disebut memberi perintah: tembak dulu, tanya belakangan. Banyak diantara korban, terutama perempuan dan anak-anak, tewas dalam busana tidurnya. Para marinir juga membunuh 4 pelajar dan seorang supir taksi yan menerobos blokade jalan.

Investigasi majalah berita Time membuat militer AS kembali membuka kasus tersebut. Juni 2006, Donald Rumsfeld, Menteri Pertahanan ketika itu mengatakan, "Dalam konflik, terjadi hal-hal yang sebetulnya tidak perlu terjadi. Kasus ini akan diselidiki dan kita akan segera tahu, apa yang terjadi. Penyelidikan juga dilakukan mengenai apa yang terjadi setelah itu, dan kita segera mendapat jawabannya.”

Terbukti, penyedikian baru sulit dilakukan. Terutama karena bukti-bukti sudah dimusnahkan sebelumnya dan laporan-laporan dipalsukan. Sementara itu diketahui, tidak ada satupun dari 24 korban sipil Irak tewas akibat ledakan bom. Tapi, seberapa jauh para tentara marinir melanggar peraturan, akan ditunjukkan dalam pengadilan.

Dari empat pria yang dihadapkan ke pangadilan militer, hanya dua yang terlibat langsung dalam insiden. Sersan Frank Wuterich antara lain dituduh membunuh dengan sengaja dan menyebabkan cedera fisik parah. Begitu pula Kopral Satu Stephen Tatum.

Dua tentara lainnya menghadapi tuduhan berbeda. Letnan Satu Andrew Grayson memberikan keterangan palsu dan merintangi pengadilan. Ia memerintahkan bawahannya untuk memusnahkan foto para korban. Foto-foto tersebut merupakan bukti tegas bahwa warga sipil tewas karena tembakan, dan bukan ledakan bom.

Sementara Letnan Satu Jefffrey Chessani, komandan batalyon, dituduh antara lain melanggar kewajiban, karena ia tidak memerintahkan insiden itu diselidiki sesuai prosedur dan melaporkannya.

Bagi Professor Gary Solis, yang mengajar hukum perang di universitas Georgetown, Amerika, kasus Haditha menjadi luar biasa bukan hanya karena banyaknya warga sipil yang tewas dan sikap agresif tentara marinir.

Solis mengatakan, “Untuk pertama kalinya seorang komandan dimintai tanggungjawab atas perilaku agresif bawahannya. Bukan hanya itu, ia juga dituntut karena mengabaikan kewajibannya sendiri, karena tidak mengusut, melaporkan dan menyelidiki insiden itu. Bagi korps marinir, ini langkah yang sangat agresif."

Solis sendiri sudah 26 tahun bergabung dengan korps marinir AS. Ia terjun di perang Vietnam sebagai pemimpin kompi, dan setelah itu dalam ratusan pengadilan militer, sebagai hakim atau jaksa penuntut.

Ia mengatakan, “Walaupun tidak enak melihat sebuah karir berakhir dengan cara ini, tapi saya pikir ini hal yang baik , karena ini mencerminkan komitmen, kemauan militer AS untuk meminta pertanggungjawaban perwira berpangkat tinggi.”

Dalam skandal penyiksaan terhadap tawanan Irak di penjara Abu Ghraib misalnya, tidak ada tentara berpangkat tinggi yang diajukan ke pengadilan. Namun sejak saat itu, kata Solis, beberapa kali terjadi pergantian personil di tingkat posisi yang lebih tinggi.

Haditha juga tak bisa disamakan dengan Abu Graib. Karena dalam skandal di penjara itu para tentara merencanakan perbuatan mereka sebelumnya.

Sementara itu, di antara sebagian tentara berkembang kesadaran akan hal-hal yang melanggar hukum, kata Solis. Perlindungan terhadap hak asasi, peraturan militer dalam menangani rakyat sipil dan tawanan perang berubah dan memperoleh pemaknaan baru.

Bagaimanapun juga, pembantaian di Haditha baru diselidiki secara mendasar, ketika wartawan menyelidiki dan mempertanyakannya. Pengalaman menunjukkan, bukan hanya di Amerika tapi juga negara-negara lain bahwa militer atau pemegang kekuasaan tidak suka memeriksa rahasia atau kekurangan mereka sendiri. (rp)