1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Penerbitan Jemaah Islamiyah di Indonesia

Noni Arni21 Maret 2008

Kepolisian RI berupaya keras dalam menangani aksi terorisme. Sejumlah penangkapan tokoh penting jaringan teror Jemaah Islamiyah menandai kesuksesan Polri. Kini, JI melebarkan aktivitas radikalnya melalui penerbitan buku.

https://p.dw.com/p/DSXA
Peristiwa Bom Bali 13 Oktober 2002. Selama dua tahun terakhir ini aksi teror Jemaah Islamiyah menurun drastis. Mereka diduga mengalihkan aktivitas radikalnya melalui penerbitan buku.
Peristiwa Bom Bali 13 Oktober 2002. Selama dua tahun terakhir ini aksi teror Jemaah Islamiyah menurun drastis. Mereka diduga mengalihkan aktivitas radikalnya dengan menerbitkan buku.Foto: AP

Diawali bom Bali, Indonesia mengalami langsung rangkaian terrorisme internasional. Khususnya yang dilancarkan oleh jaringan Jemaah Islamiyah. Sejak Bom Bali 13 Oktober 2002, berbagai serangan bom bunuh diri kalangan radikal dilancarkan di berbagai tempat dengan berbagai cara, menewaskan ratusan orang.

Namun unjuk kerja kepolisian Indonesia dalam menangani aksi terorisme ternyata tidak buruk. Mereka berhasil menangkap ratusan dan menewaskan sejumlah pelaku serta anggota jaringan teror penyebar maut itu. Kendati masih ada yang hingga kini tetap buron. Seperti Noordin M Top. Namun secara umum, selama dua tahun terakhir ini aksi teror Jemaah Islamiyah menurun jauh.

Diyakini, organisasi ini hampir lumpuh. Namun jangan keburu terlalu tenang. Baru saja terungkap bahwa Jemaah Islamiyah kini melebarkan aktivitas radikalnya ke medan pemikiran. Yakni melalui penerbitan buku. Demikian diungkap International Crisis Group dalam laporan terbarunya belum lama ini.

Reporter DW Noni Sunarni mendapatkan kesempatan bertemu Imam Samudera dalam kunjungan ke penjara Nusa Kambangan bersama sejumlah wartawan lain beberapa waktu lalu. Salah satu otak serangan bom Bali yang tengah menanti hukuman mati ini adalah salah satu jihadis utama Indonesia yang mempelopori jalan penerbitan ini. Dari dalam penjara ia menulis buku berjudul "Aku Melawan Teroris“.

Lalu sambil mengusahakan pembatalan hukuman mati, dari balik selnya Imam Samudera mempersiapkan buku lain. Sebagian naskahnya ditunjukkan dan bahkan dibacakannya kepada pers saat itu.

“Ini naskah lanjutan saya, saya bacakan ya... (Dia kemudian membacakan naskah puisinya-red.) Ini untuk kaum muslimin semua. Ini dalam buku saya, sebagian puisi saya tulis di sini. Intinya saya akan tetap teguh di jalan Allah dengan Islam. Negara yang tidak berdasarkan hukum Allah, berarti semua itu hukum setan. Cetaknya itu nanti saya tidak tahu, kecuali ada laptop, akan saya terbitkan secepatnya."

Buku keduanya ini, menurut Imam Samudera, dimaksudkan sebagai bantahan atas buku “Mereka Adalah Teroris “ karya Al-Ustadz Luqman bin Muhammad Ba'abduh yang kritis terhadap kaum radikal..

Namun sampai sekarang, naskah otak bom Bali itu belum juga jadi buku. Padahal buku pertamanya laris di pasaran. Sampai cetak ulang tiga kali. Namun terhambatnya penerbitan buku baru Imam Samudera ini agaknya cuma suatu kekecualian. Karena secara umum justru banyak sekali buku-buku Islam garis keras yang membanjiri pasar. Bahkan International Crisis Group menengarai bahwa penerbitan buku-buku radikal ini memang merupakan strategi jaringan teroris Jemaah Islamiyah atau JI. Jadi penerbit-penerbit buku itu sebagian merupakan kepanjangan tangan langsung JI.

Seperti disebutkan tokoh senior ICG, Sidney Jones, “Kita bisa beli bukunya di mana-mana. Kalau dilihat penerbitnya, pengarangnya, penerbitnya dan lain-lain, kita bisa langsung melihat keterlibatan mereka dalam kegiatan lain JI. Misalnya Ubaid dan Umar Burhanudin, dua kakak beradik yang dulu ikut Noordin M Top sebelum bom Kuningan. Mereka ditahan tahun 2004, dibebaskan tahun lalu. Selama berada di penjara pun, mereka bekerja sebagai penerjemah. Juga misalnya kelompok penerbitan Al Alaq di Solo, ketuanya, Iksan Miarso, adalah bekas ketua wakalah JI di Solo.”

Bukan kebetulan hampir seluruh penerbit buku-buku radikal itu berlokasi di Solo, yang merupakan lokasi Pesantren Al Mukmin alias pesantren Ngruki milik Abu Bakar Ba'asyir, yang disebut-sebut merupakan pendiri Jemaah Islamiyah. Dari setidaknya tujuh penerbitan terkait Jemaah Islamiyah, lima di antaranya berlokasi di Solo. Termasuk kelompok Aqwam, yang juga membawahi Jazeera, penerbit buku Imam Samudera tadi. Menurut ICG, di Solo bahkan dibentuk Serikat Penerbit Solo, untuk menghimpun lembaga-lembaga penerbitan terkait Jemaah Islamiyah.

Mencari Jejak Penerbitan JI

Pukul 10 pagi toko buku Arafah ini terlihat sepi. Hanya seorang kasir dan penjaga toko yang tengah memeriksa susunan buku-buku sesuai jenisnya. Mata DW tertumbuk pada sejumlah buku beraliran keras yang tertata rapi di bagian pojok ruangan. Letaknya agak tersembunyi, tertutup dengan rak buku lain. Tampak diantaranya “Book of Mujahideen” dan sebuah buku “Orang Bilang Ayah Teroris,” karya Paridah Abas, istri terdakwa bom Bali, Imam Mukhlas.

Suasana militan lebih terasa lagi lewat VCD "Manhattan Raid True Story of 9/11", yang suaranya terdengar di seluruh ruangan bernuansa hijau, di rumah cukup luas yang digunakan sebagai took ini. VCD ini merupakan cerita versi lain tentang serangan 11 September oleh Al Qaida. Toko Arafah berada di Gang Mawar, sebuah gang sempit di antara komplek perumahan di kawasan Ngruki. Jika ingin ke Toko Arafah, pengunjung harus berjalan kaki atau sepeda motor, karena gangnya terlalu kecil untuk dilalui mobil. Arafah hanya berjarak sekitar 200 meter dari Asrama Putri Darul Rahmat Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki Solo. Hari itu sebagian besar toko buku tutup karena hari besar agama Islam. Beruntung toko Arafah tetap buka, meski hanya setengah hari. Tidak jelas, apakah ini karena menurut laporan ICG Arafah merupakan toko buku terbesar di Solo. Toko buku Arafah merupakan bagian dari Kelompok penerbitan Arafah pimpinan Ustad Tri Asmoro Kurniawan yang disebut ICG terkait Jemaah Islamiyah. Disebutkan, Arafah merupakan salah satu kelompok penerbitan JI terbesar. Selain toko buku ini, Arafah mengelola lima perusahaan penerbitan. Dua di antaranya, Pustaka Arafah dan Media Islamika mengkhususkan diri pada buku jihad. Namun pemimpinnya, Ustad Tri Asmoro Kurniawan membantah. Ia mengaku menerbitkan buku-buku jihad, namun katanya itu tak terkait Jemaah Islamiyah. Tri Asmoro Kurniawan mengatakan, “Yang khawatir justru kalau dihubung-hubungkan itu punya tendensi-tendensi apa. Kalau menurut kita itu permintaan pasar, ada dan menjanjikan, kan era demokratis. Dan saya mungkin ngutip omongan orang-orang itu bahwa masyarakat kita sangat dewasa. Jadi buku apapun bisa dibaca.” Namun dalam catatan ICG, Arafah menerbitkan antara lain terjemahan karya Abdul Qadir bin Abdul Azis yang dikenal sebagai penulis buku petunjuk gerilya, yang juga merupakan kawan seiring Ayman al Zawahiri, tokoh Al Qaida nomor dua sesudah Osama bin Laden. ICG juga menyebut buku-buku petunjuk jihad lainnya yang diterbitkan Arafah. Kembali Tri Asmoro Kurniawan membantah tudingan itu, "Dan kita tidak melakukan agitasi kepada publik dengan buku dan ini bukan selebaran kok. Ini buku dan orang kalau baca tidak detil juga tidak tahu“ ICG menyebut, Tri Asmoro Kurniawan adalah bekas anggota Jemaah Islamiyah wakalah Jawa Barat. Sebagaimana para pengelola, pengarang dan penerjemah berbagai penerbitan lain yang banyak terkait JI atau pesantren Ngruki. Secara khusus ICG menyebut pula bahwa sebagian besar buku jihad terbitan Arafah berkemasan mahal dan menarik, namun dijual dengan harga murah. Ditengarai, Arafah menerapkan subsidi silang dari penjualan buku keagamaan lain yang laris. Ini juga dibantah Tri Asmoro Kurniawan. “Dalam tanda petik tidak ada subsidi silang. Kita untung dengan jualan buku jihad sekali pun. Itu tidak ada tujuan-tujuan apapun. Biaya produksi memang lebih murah di Solo daripada di Jakarta. Kemudian yang kedua, karena buku-buku agama tidak ada PPN-nya jadi ketika masuk ke Gramedia, itu menguntungkan penerbit yang berbasis agama, karena dia dikategorikan buku agama sementara buku-buku umum ada PPN-nya. Jadi buku-buku kita yang kita jual 45 ribu mestinya, kalau logikanya Gramedia atau macam-macam buku itu 60 ribuan. Yang ketiga, mungkin sebagian teman-teman di Solo itu kan orientasinya dakwah jadi buku itu hanya sebagai sambilan saja self publish." Tri Asmoro Kurniawan adalah satu-satunya yang mau berbicara kepada DW. Pimpinan empat penerbitan lain menolak berbicara atau mematikan teleponnya. Seperti pimpinan kelompok Al Alaq Ikhsan Miarso, Kelompok al-Qowam Hawin Murtadlo, Kelompok Aqwam Bambang Sukirno dan Kafayeh Cipta Media. Lalu DW menyusuri toko-toko buku kecil yang menyediakan buku-buku bernuansa jihad di beberapa tempat, seperti kawasan kampus dan komplek Kauman –lokasi yang menjadi sasaran penerbitan itu. Salah satunya adalah toko Aneka Ilmu, yang berada di lantai dua Pasar Johar, kawasan pasar terbesar di Semarang. Toko ini kecil tapi dipenuhi tumpukan berbagai buku. Termasuk keluaran dari lima penerbit di Solo yang disebut ICG terlibat dalam Jemaah Islamiyah. Menurut Warsito, salah seorang pemilik, Tokonya selalu disuplai buku-buku jihad langsung dari Solo. "Ya orang-orang tertentu, banyak. Terbitan Solo Al Jazeera ada yang ngirim dan yang lewat distributor. Kalau ada buku baru pasti dikasih. Terbitan Al Jazeera itu kan tertentu beda dengan buku Islam biasa yang semua orang bisa beli. Yang tertentu itu biasanya yang mahasiswa. Kalau yang beli terbitan Al Jazeera, kalau orang bilang, Islam keras. Yang paling booming itu pas rame-rame teroris. Untuk buku model jihad, tidak tiap bulan terbit. Sebulan bisa 20 buku,” ungkap Warsito. Tidak jelas sejauh mana pengaruh buku-buku keras itu terhadap pemikiran masyarakat. Tetapi kalau itu berarti serangan bom bunuh diri berhenti, masyarakat bisa sedikit lebih tenang. Kendati buku juga bisa berbahaya dalam mengubah pikiran pembacanya.