1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Penelitian Primata Menguak Rahasia Humanitas

27 Februari 2007

Sejak lama para peneliti primatologi mempertanyakan, apa yang menyebabkan manusia itu menjadi manusia?

https://p.dw.com/p/CPU5
Bayi orang utan belajar meniru perilaku induknya
Bayi orang utan belajar meniru perilaku induknyaFoto: dpa

Manusia secara ilmiah memang digolongkan dalam keluarga primata. Banyak yang merasa tidak nyaman dengan penggolongan ini. Sehingga muncul pertanyaan tadi, yakni apa yang membedakan manusia dengan primata lainnya? Khususnya dengan membandingkan manusia dengan keluarga primata yang kode genetiknya lebih dari 90 persen identik, yakni simpanse, bonobo, gorilla atau orang utan.

Ketika tahun 1960 lalu peneliti primata terkemuka Jane Goodall memulai mengamati perilaku simpanse di hutan Gombe di Tanzania, disebutkan, yang membedakan manusia dengan primata lainnya adalah penggunaan peralatan. Belakangan diketahui, ternyata simpanse atau bonobo juga dapat menggunakan alat bantu. Penelitian terbaru menunjukkan, manusia berbeda dengan primata lainnya karena memiliki sifat karitas atau membantu tanpa pamrih. Tapi apakah itu saja yang membedakannya?

Dahulu, interaksi sosial dianggap hanya milik umat manusia. Tapi ternyata penelitian intensif terhadap kawanan simpanse dan bonobo di berbagai kawasan, baik yang berada di alam bebas maupun di kebun binatang, menunjukkan interaksi sosial juga terjadi di kalangan primata lainnya. Penelitian yang dilakukan pakar primatologi Brian Hare dari Institut Max Planck di Leipzig Jerman, di dua lokasi suaka primata di Afrika, menunjukan perilaku yang berbeda diantara kawanan simapanse dan kawanan bonobo, dalam menyelesaikan konflik sosial.

Dalam penelitian di pulau Ngamba di danau Viktoria, sebuah kawasan suaka yang dihuni sekitar 40 simpanse, diamati bahwa simpanse memecahkan konflik dengan cara berkelahi. Sementara penelitian bonobo di kawasan suaka Loyala Bonobo di Republik Demokrasi Kongo menunjukan, konflik diantara kawanan bonobo dipecahkan dengan aktivitas seksual. Disebutkan, untuk mengerti diri kita sebagai manusia, kita harus mengerti secara mendasar perilaku kedua jenis primata lainnya, yang pohon keluarganya relatif dekat.

Penelitian yang dilakukan Brian Hare antara lain menjajagi kapasitas untuk bekerjasama di kedua kawanan primata tersebut. Misalnya saja penelitian dengan sebuah papan sepanjang tiga meter yang berisi pisang, yang ditaruh di luar kandang. Di ujung papan dipasang dua anting-anting logam, yang dililit tali yang kedua ujungnya diletakkan di dalam kandang. Jika hanya satu ujung tali ditarik, papan tidak akan bergerak, dan lilitan tali akan lepas. Jadi talinya harus ditarik di kedua ujungnya, agar papan dengan piring pisang itu mendekati kandang.

Hare menjelaskan hasilnya: “Jika kita letakkan semua makanan di tengah papan, dan menunjukkannya kepada kelompok simpanse, ternyata tidak ada yang dapat memecahkan masalah tersebut. Penyebabnya, simpanse ini sibuk sendiri memikirkan, siapa yang akan memperoleh makanan itu dan memonopolinya. Itulah sebabnya simpanse tidak dapat bekerjasama memecahkan masalah. Masing-masing individu menolak bekerjasama, karena tahu yang lainnya akan mencuri makanan tersebut. Berbeda dengan bonobo, mereka cukup bahagia berbagi makanan yang ada, jadi mereka bekerjasama dan dengan cepat dapat memecahkan masalahnya.“

Tapi simpanse juga menunjukkan kapasitas untuk belajar, dan sebagai konsekuensinya dapat memilih pasangan yang lebih baik diantara dua kemungkinan. Rekan peneliti Hare, Alicia Mellis, menjelaskan, setelah ujicoba pertama dengan papan makanan bertali, simpanse obyek ujicoba biasanya dapat menarik pengalaman, dan menjatuhkan pilihan pada mitra yang menguntungkan. Alicia Mellis mengatakan: “Salah satu mitra sangat terlatih dan yang lainnya juga terlatih tapi kurang dapat dipercaya. Biasanya simpanse ini mendekat, menarik tali, kembali menjauh dan mengamati perilaku pasangannya. Jika kami memberikan kesempatan di hari berikutnya, simpanse bersangkutan cenderung memilih pasangan yang lebih terlatih, dan dengan begitu ia memiliki ingatan, siapa diantara pasangannya yang lebih baik dalam konteks tersebut.“

Ketika para ilmuwan memulai penelitiannya mengenai kemampuan kerjasama diantara simpanse di Pulau Ngamba, mereka sudah mengetahui bahwa monyet tidak berekor memiliki kapasitas untuk itu. Peneliti dari Universitas California, Joan Silk melakukan penelitian lebih jauh, yakni menyangkut kualitas kerjasama, yang sejauh ini diperkirakan merupakan sifat unik manusia.

Joan Silk menjelaskan: “Manusia sebenarnya bersifat mendahulukan kepentingan orang lain. Mereka menyumbang uang dalam jumlah besar kepada korban tsunami, memungut sampah yang bececeran atau menyumbangkan darahnya. Pertanyaannya adalah, darimana datangnya semua itu? Apakah berakar pada nenek moyang kita sebagai primata? Ataukah itu sifat unik pada manusia? Apakah sifat itu juga terdapat pada primata lainnya, ataukah muncul setelah manusia menyempal dari garis keluarga primata dan kita mengikuti garis evolusi sendiri.“

Untuk tujuan itu Joan Silk dan tim penelitinya membuat apa yang disebut “mesin kemurahan hati“. Pada prinsipnya ini mesin sederhanya dengan dua tuas. Tuas pertama jika ditarik akan mengeluarkan dua pisang. Satu untuk simpanse pelaku ujicoba dan satunya lagi untuk pasangannya. Tuas kedua, jika ditarik hanya mengeluarkan sebuah pisang, jadi hanya untuk simpanse pelaku saja. Dengan itu hendak diteliti, seberapa jauh kesiapan simpanse untuk berbagi.

Lebih jauh Joan Silk menerangkan: “Jawaban mendasarnya: simpanse bersifat acuh tak acuh. Mereka yang memilih opsi memberikan pisang bagi pasangannya, sekitar separuhnya dalam percobaan tersebut. Dan pilihan itu tidak dilakukan, jika ada simpanse lain duduk di depan mereka. Jadi simpanse dalam paradigma ujicoba ini tidak menunjukkan opsi bahwa mereka menguntungkan mitranya.“

Tentu saja satu penelitian tidak mencukupi untuk menarik kesimpulan yang kokoh. Tim peneliti tersebut, terus melakukan ujicoba dengan metode terbaru. Tapi, kesimpulan sementara dari ujicoba itu adalah, sudah jelas, bahwa di kerajaan simpanse dan monyet tidak ada ibu Teresa yang siap berkorban untuk sesama jenisnya.

Di sisi lain, penelitian pada bayi bonobo menunjukkan, banyak kesamaannya dengan bayi manusia. Keduanya memiliki kemampuan untuk tertawa. Namun tentu saja membuat perbandingannya tidak semudah itu. Manusia tertawa dengan cara berbeda-beda untuk bereaksi terhadap rangsangan emosi yang berbeda-beda. Akan tetapi mengapa monyet juga tertawa?

Untuk itu peneliti dari Universitas Hannover, Elke Zimmermann melakukan penelitian tertawa pada bayi manusia dan bayi monyet besar. Penekanannya dari seberapa jauh ekspresi akustik ketika tertawa, dibandingkan dengan tertawa pada manusia. Ternyata suara tertawa bayi monyet besar, dalam beberapa aspek, mirip dengan ekspresi akustik bayi manusia.“

Sementara itu, Tetsuro Matzuzawa, direktur penelitian primata di Universitas Kyoto-Jepang, melakukan penelitian lebih lanjut mengenai apa yang disebut “senyum pada bayi yang baru dilahirkan“. Pada bayi manusia, senyuman spontan itu pelan-pelan menghilang pada usia sekitar dua bulan. Digantikan dengan senyuman responsif atau senyuman interaksi sosial. Pada bayi simpanse senyuman sosial ini jarang terjadi. Pada manusia, senyuman merupakan bagian integral dari komunikasi, sementara pada simpanse tidak. Semua penelitian itu tetap belum dapat menjawab pertanyaan, mengapa manusia menjadi manusia dan berbeda dengan primata lainnya.