1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pendeta Perempuan Pertama di Libanon

Andreane Williams23 Desember 2013

Di Tripoli, sebuah kota di bagian utara Libanon. Di sini sebuah komunitas kecil Presbiterian memutuskan untuk berpisah dari tradisi dan memilih seorang perempuan sebagai pendeta mereka.

https://p.dw.com/p/1Ae87
Foto: DW/A. Williams

Duduk dalam mobilnya, Rola Sleiman melaju di tengah lalu lintas Tripoli pada hari Minggu. Jalanan terlihat tenang. Meski kehadiran tentara di dalam dan sekitar kota mengingatkan warga pada kekerasan yang belum lama terjadi. "Kami tidak bisa pergi ke gereja Minggu lalu. Demonstran melemparkan bom molotov ke arah tentara dari atap gereja," kata Rola. Di latar belakang terdengar lagu 'Heal the World' dari Michael Jackson di radio.

Perempuan berusia 38 tahun ini adalah pendeta perempuan pertama yang secara resmi ditunjuk di Libanon. Dan menurutnya satu-satunya di Timur Tengah. Sejak tahun 2005, ia bertanggung jawab atas segala urusan yang berhubungan dengan Gereja Evangelikalisme di Tripoli, sebagai bagian dari Sinode Evangelis Nasional Suriah dan Libanon. Rola dapat menjalani tugas-tugas yang sama dengan pendeta yang telah ditahbiskan, termasuk memberi sakramen.

Meski Rola sadar ia memuluskan jalan bagi umat perempuan, ia bercerita bahwa peluang ini datang secara tidak sengaja, saat seorang pendeta dari gerejanya pindah ke Amerika Serikat. "Saya punya gelar yang sama dengannya, jurusan teologi, jadi saya memutuskan untuk mengambil alih, sebagai pendeta interim. Seiring waktu, saya mendapat kepercayaan jemaat dan mereka menyarankan saya menjadi pendeta resmi mereka. Ini menjadi kunci kesuksesan penunjukkan saya. Jemaat gereja kenal saya secara pribadi dan mempercayai saya. Fakta bahwa saya seorang perempuan tidak menjadi masalah," jelasnya.

Rola Sleiman mendapat dukungan penuh dari jemaatnya
Rola Sleiman mendapat dukungan penuh dari jemaatnyaFoto: DW/A. Williams

Memuluskan jalan

Rola Sleiman lahir di Tripoli, ayahnya orang Suriah dan ibunya Libanon. Ia tahu sejak usia dini bahwa ia ingin melayani Tuhan.

Sebelum menjadi pendeta, ia bekerja sebagai penasehat pendidikan selama 8 tahun di Lembah Bekaa. Keluarganya tidak terlalu senang dengan pilihan kariernya. Namun secara mencengangkan, ia mendapat dukungan dari kaum lelaki dalam keluarganya. "Kebanyakan orangtua ingin sesuatu yang pasti untuk anak mereka. Orangtua saya tidak mengerti apa yang ingin saya lakukan dengan profesi ini. Namun ayah saya akhirnya menjadi suporter nomor satu. Kakak lelaki saya yang pertama kali memperkenalkan teologi."

Dan dukungan berlimpah datang dari jemaat gerejanya. "Pada awalnya, beberapa orang berkeberatan bahwa ia seorang perempuan, tapi kami memutuskan untuk mempercayainya dan memberinya kesempatan. Kini semua orang mencintainya karena ia jujur dan peduli pada jemaat," ucap Jack, salah seorang jemaat gereja.

Rola Sleiman tidak mau ditahbiskan sebagai pendeta apabila menimbulkan perpecahan
Rola Sleiman tidak mau ditahbiskan sebagai pendeta apabila menimbulkan perpecahanFoto: DW/A. Williams

Khotbah di tengah kekacauan

Meski di tengah situasi keamanan yang terus mengkhawatirkan, Rola membawahi jemaat kecil yang terdiri dari 33 keluarga, banyak di antara mereka telah beremigrasi. Tripoli adalah kota terbesar kedua di Libanon dan terletak hanya 30 kilometer dari perbatasan Suriah. Sejak perang sipil pecah, warga Tripoli terkena dampak meningkatnya kekerasan sektarian yang terkait dengan konflik Suriah.

Bagi Rola, konflik Suriah memberi beban tambahan bagi komunitas kecilnya yang sebelumnya sudah terpecah. Ia mencoba untuk netral dalam konflik, namun banyak warga yang merasa takut. Seorang anggota jemaat, seorang perempuan Libanon-Palestina, menolak untuk memberikan nama saat ditanya bagaimana kekerasan telah berdampak pada komunitasnya. "Orang takut untuk datang ke Tripoli," katanya.

Ada sekitar 20 anggota jemaat yang datang ke kebaktian. Jumlah yang bagus menurut Rola. Saat musim liburan, jumlah bisa mencapai 80.

Terinspirasi oleh kekerasan sektarian yang baru saja terjadi dan mosaik kebudayaan kota, Rola memutuskan untuk memberi khotbah dengan tema rekonsiliasi. Meski mendapat dukungan jemaat, ia masih belum yakin untuk mendaftar penahbisan sebagai pendeta, karena ia yakin perubahan harus terjadi melalui sebuah konsensus. "Saya tidak ingin sukses sendiri. Saya rasa majelis umum dan tetua gereja mendukung saya untuk ditahbiskan sebagai seorang pendeta tapi saya tidak yakin semua orang dalam komunitas di Libanon akan setuju. Apabila penahbisan saya akan berpengaruh pada gereja dan menciptakan perpecahan, saya tidak mau melakukannya."