1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pileg 2019 Minus “Partai Islamis”?

13 Maret 2018

Kaum Muslim di Indonesia pada umumnya adalah “nasionalis-kultural-nominal”. Hanya sedikit saja yang menyukai jenis keislaman yang ideologis, politis, dan militan. Demikian opini Sumanto al Qurtuby.

https://p.dw.com/p/2thTg
Indonesien Jakarta Wahlen
Foto: picture-alliance/AP Photo/T. Syuflana

Komisi Pemilihan Umum (KPU) secara resmi telah merilis 14 partai politik (parpol) yang akan berlaga dalam Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) 2019 mendatang. 14 parpol dimaksud adalah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Gerindra, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Golkar, Partai Nasdem, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Demokrat, Partai Hanura, serta ditambah empat parpol pendatang baru: Partai Garuda, Partai Berkarya, Partai Perondo, dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI).

Dari daftar parpol tersebut, tidak ada satupun parpol yang masuk kategori "partai Islamis.” Yang saya maksud dengan "partai Islamis” di sini adalah partai politik yang komit dan idealis mengusung Islam sebagai sebuah ideologi-politik pemerintahan dan negara. Harap istilah "partai Islamis” ini jangan dikacaukan dengan istilah "partai Islami”, yaitu partai politik yang platform dan visi-misinya mengklaim bersumber atau berbasis dari–dan mencitrakan diri sesuai dengan–ajaran, norma, dan nilai-nilai Islam. Berbeda dengan "partai Islami” yang cukup lentur, pragmatis, dan oportunistik, "partai Islamis” sangat ideologis dan militan.

Ia dosen Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Dhahran, Arab Saudi. Ia pernah menjadi fellow dan senior scholar di berbagai universitas seperti National University of Singapore, Kyoto University, University of Notre Dame, dan University of Oxdord. Ia memperoleh gelar doktor (PhD) dari Boston University, Amerika Serikat, di bidang Antropologi Budaya, khususnya Antropologi Politik dan Agama.  Ia menulis lebih dari 18 buku, ratusan artikel ilmiah, dan ribuan esai popular baik dalam Bahasa Inggris maupun Bahasa Indonesia yang terbit di berbagai media di dalam dan luar negeri. Bukunya yang berjudul Religious Violence and Conciliation in Indonesia diterbitkan oleh Routledge (London & New York) pada 2016. Manuskrip bukunya yang lain, berjudul Saudi Arabia and Indonesian Networks: Migration, Education and Islam, akan diterbitkan oleh I.B. Tauris (London & New York) bekerja sama dengan Muhammad Alagil Arabia-Asia Chair, Asia Research Institute, National University of Singapore.   
Penulis: Sumanto al Qurtuby Foto: S. al Qurtuby

Di Indonesia ada beberapa parpol yang masuk kategori "partai Islami” ini yang akan ikut bertarung di Pileg 2019 nanti tapi bukan "partai Islamis”. PKS, PPP atau PKB masuk kategori "partai Islami” ini meskipun mereka berbeda dalam mendefinisikan, menafsirkan, dan memahami Islam dan relasinya dengan masalah kepolitikan, kemasyarakatan, kepemerintahan, kebangsaan, dan kenegaraan. Mereka juga memilik basis massa Muslim yang cukup berbeda. Meskipun PPP juga mengais dukungan pemilih warga NU, khususnya di Jawa, sebagaimana PKB, tapi segmen pemilih Muslim PPP lebih luas dan variatif ketimbang PKB.

Pada mulanya, PKS memang dipengaruhi oleh kelompok Islamis di Timur Tengah, khususnya Ikhwanul Muslimin, sehingga banyak orang menyebut PKS sebagai "partai Islamis”. Tetapi praktiknya, PKS adalah partai oportunis dan tidak idealis dalam memperjuangkan Islamisme. Partai ini hanya menggunakan nama "Islam” sebagai embel-embel, jargon, dan alat kampanye dan propaganda saja untuk mengais dukungan sebagian pemilih Muslim kota yang cukup fanatik dan konservatif dalam berislam.

Yang agak dekat masuk kategori "partai Islamis” sebenarnya adalah Partai Bulan Bintang (PBB), yang disebut-sebut sebagai "reinkarnasi” Masyumi, parpol di zaman Orde Lama yang dibekukan oleh Bung Karno gegara sejumlah pentolan partainya disinyalir ikut terlibat dan mendalangi gerakan separatis di sejumlah daerah. PBB yang semula tidak memenuhi verifikasi faktual KPU sehingga divonis gagal ikut Pileg 2019, akhirnya belakangan diloloskan oleh Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) sehingga bisa ikut Pileg lagi 2019 nanti.

Tapi sayang, PBB, sejak ikut Pileg pertama tahun 1999, tidak pernah mampu memperoleh suara signifikan. Tahun 1999, PBB hanya meraup 1,94% suara. Pileg tahun 2004, PBB memang mampu meraih 2,64% dan mendapatkan 11 kursi di parlemen tapi kemudian anjlok lagi pada 2009 dengan 1,79% dan 1,46% pada Pileg 2014 sehingga tidak memiliki wakil di DPR RI karena tidak mampu meraih perolehan suara melebihi parliamentary threshold 2,5%. Selain itu, PBB sebenarnya juga tidak bisa dikatakan 100% "partai Islamis” idealis karena dalam praktiknya, partai ini, sebagaimana parpol lain, juga oportunis-pragmatis.

Baca juga;

Ultimatum berakhir, Kelompok Anti Qatar Berunding Tentukan Posisi

Apa yang Tersisa Setelah Lima Tahun Revolusi Mesir?

Tak ada yang mampu mewakili aspirasi semua kelompok Islamis

Minimnya "partai Islamis” yang militan-idealis, ditambah sedikitnya perolehan suara untuk partai yang agak dekat dengan "partai Islamis” ini, bukan berarti menunjukkan bahwa kelompok Islamis di Indonesia itu tidak ada. Kelompok dan individu Muslim Indonesia yang simpatik terhadap Islamisme sebetulnya cukup lumayan. Islamisme yang dimaksud di sini adalah sebuah gerakan ideologi politik kaum Muslim yang berbasis pada hasil pemikiran, pemahaman dan penafsiran terhadap sejumlah doktrin, teks, dan wacana Islam politik tertentu. Jadi Islamisme, dengan demikian, berbeda dengan Islam. Tentang hal ini, simak buku Islamism and Islam karya Bassam Tibi atau Islam vs. Islamism: the Dilemma of the Muslim World karya Peter Demant dan Asghar Ali Engieer.

Karena tidak ada "partai Islamis” yang dipandang mampu mewakili aspirasi semua kelompok Islamis yang sangat majemuk dan kompleks, maka kaum Islamis di Indonesia menyebar ke sejumlah parpol yang dipandang memiliki platform cukup dekat dengan Islamisme (misalnya PKS atau PBB). Sebagian yang lain bergabung dengan partai-partai politik yang bersedia "mengelola” dan "menghidupi” kaum Islamis ini untuk menambah perolehan suara partai. Selain PKS, Partai Gerindra (Gerakan Indonesia Raya) disinyalir sebagai "rumah” kelompok Islamis. Meskipun berideologi Pancasila dan berplatform nasionalis, Partai Gerindra dinilai dekat dengan kelompok Islamis.

Pada Pileg 2019 nanti, diperkirakan kelompok Islamis bukan hanya menjadi basis massa PKS, PBB, dan Partai Gerindra saja tetapi juga dua perpol pendatang baru: Partai Berkarya dan Partai Garuda, keduanya disebut-sebut memiliki hubungan dengan keluarga Cendana, khususnya Tommy Soeharto dan Mbak Tutut (Siti Hardiyanti Rukmana). Tommy Soeharto sendiri sudah melakukan gerilya kemana-mana mendekati berbagai kelompok, ormas, dan pentolan umat Islam, termasuk kaum Islamis. Tommy melakukan hal itu karena ia berambisi maju menjadi calon presiden pada Pilpres 2019 nanti.

Apa kelemahannya?

Salah satu kelemahan mendasar kelompok Islamis, termasuk pentolannya, di Indonesia adalah mereka tidak mempunyai parpol sendiri, memiliki idealisme yang rendah, dan miskin dana. Karena itu mereka dengan mudah dijadikan sebagai "kayu bakar” oleh partai-partai lain, meskipun berideologi non-Islamis, yang memiliki dana dan sumber-sumber finansial besar seperti parpol-parpol dari "lingkaran Cendana” (Gerindra termasuk di dalamnya karena Prabowo Subianto adalah bekas menantu Pak Harto).

Ke depan, jika kaum Islamis ingin memperjuangkan nilai-nilai Islamisme di Indonesia, mereka harus mendirikan dan mempunyai partai politik sendiri yang otonom, militan dan idealis seperti yang terjadi di Pakistan dimana kaum Islamis mengelompok di sejumlah partai Islamis seperti Jamaat-e-Islami (didirikan oleh salah satu pemikir dan ideolog Islamisme, Abul Ala Maududi, 1903-79), Jamiat-e-Ulema-e-Islam, dan Tehreek-e-Islami.

Tetapi kalaupun kaum Islamis berupaya mendirikan parpol sendiri yang independen sepertinya juga susah di Indonesia karena sejumlah faktor. Pertama, kaum Islamis sendiri tidak solid. Mereka terpecah-belah menjadi faksi-faksi kecil karena tidak memiliki kesamaan platform dan tujuan, selain berbeda haluan dalam memahami visi dan misi ajaran Islam serta strategi dan taktik gerakan Islam. Misalnya, di antara mereka ada yang menginginkan Indonesia menjadi Negara Islam, Negara Khilafah, NKRI Bersyariat dan seterusnya. Sebagian kelompok Islamis mencoba mendirikan parpol bernama Partai Syariat 212 tetapi belum ada seminggu partai ini sudah bubar-tangkar.

Kedua, adanya UU Parpol dimana ada keharusan semua parpol untuk mencantumkan Pancasila sebagai ideologi partai. Faktor lain yang tidak kalah pentingnya, ketiga, adalah karakter masyarakat atau umat Islam di Indonesia yang pada umumnya tidak menyukai jenis keagamaan (keislaman) yang ideologis, militan, politis, keras, fanatik, radikal, konservatif serta mengabaikan nilai-nilai tradisi dan budaya yang berlangsung di masyarakat.

Dengan kata lain, watak kaum Muslim di Indonesia itu pada umumnya adalah "nasionalis-kultural-nominal”. Hanya sedikit saja yang menyukai jenis keislaman yang ideologis, politis, dan militan, yaitu mereka yang sudah terkontaminasi oleh propaganda dan bualan kaum Islamis dan terkena virus Islamisme. Oleh karena itu, kalau mendirikan parpol, kelompok Islamis akan kesulitan mendapatkan sambutan meriah dari publik Muslim Indonesia (seperti yang menimpa PBB) yang meskipun mereka suka dengan Islam tetapi tidak simpatik dengan Islamisme atau katakanlah, Islam yes, Islamisme no.    

Penulis: Sumanto Al Qurtuby (ap/vlz)

Dosen Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Dhahran, Arab Saudi. Ia pernah menjadi fellow dan senior scholar di berbagai universitas seperti National University of Singapore, Kyoto University, University of Notre Dame, dan University of Oxdord. Ia memperoleh gelar doktor (PhD) dari Boston University, Amerika Serikat, di bidang Antropologi Budaya, khususnya Antropologi Politik dan Agama.  Ia menulis lebih dari 18 buku, ratusan artikel ilmiah, dan ribuan esai popular baik dalam Bahasa Inggris maupun Bahasa Indonesia yang terbit di berbagai media di dalam dan luar negeri. Bukunya yang berjudul Religious Violence and Conciliation in Indonesia diterbitkan oleh Routledge (London & New York) pada 2016. Manuskrip bukunya yang lain, berjudul Saudi Arabia and Indonesian Networks: Migration, Education and Islam, akan diterbitkan oleh I.B. Tauris (London & New York) bekerja sama dengan Muhammad Alagil Arabia-Asia Chair, Asia Research Institute, National University of Singapore.   

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.