1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pemilu Inggris Berdampak Pada Politik Eropa

Christoph Hasselbach7 Mei 2015

Pemilu parlemen Inggris secara tidak langsung menentukan politik Eropa di masa depan. Hasil pemilu akan memiliki dampak luas terhadap Uni Eropa. Perspektif Christoph Hasselbach.

https://p.dw.com/p/1FMBD
Foto: C. Somodevilla/Getty Images

Pemilu majelis rendah atau House of Commons di Inggris memang lebih banyak menyangkut politik dalam negeri, seperti masalah imigrasi, kesehatan atau pajak. Tapi juga dapat berarti keputusan awal bagi keanggotaan Inggris di dalam Uni Eropa.

Pasalnya, PM David Cameron sudah menjanjikan, jika ia terpilih kembali, hingga paling lambat akhir 2017 akan menggelar referendum mengenai hengkangnya Inggris dari Uni Eropa. Walau Cameron mengatakan, Inggris berniat tetap menjadi anggota Uni Eropa, namun dalam lembaga yang sudah direformasi.

Yang ia maksudkan adalah sebuah Uni Eropa yang tidak terlalu banyak mencampuri urusan nasional anggotanya dengan organisasi yang lebih ramping. Dengan kata lain, Brussel tidak punya lagi kekuasaan besar atas negara anggota. Tapi di sisi lain Cameron juga tidak memberikan usulan konkrit kepada Uni Eropa.

Yang sudah jelas terlihat pengaruh Cameron di Inggris maupun di Eropa direduksi dengan drastis. Ia ibaratnya masuk perangkap yang digalinya sendiri. Di kalangan warga Inggris, Cameron membangkitkan harapan "deal" yang lebih baik, yang sudah jelas tidak bisa ia penuhi. Sementara di sisi lainnya, ia menghadapi ancaman nyata dari partai UKIP yang secara terbuka menyatakan mendukung keluarnya Inggris dari Uni Eropa.

Hasselbach Christoph Kommentarbild App
Christoph Hasselbach redaktur DW

Juga sekarang ini Cameron sudah tidak mampu lagi membentuk opini publik. Dia hanya digerakan oleh suasana anti Eropa, yang melanda hampir seluruh lapisan rakyat Inggris. Dalam situasi seperti ini, jika digelar sebuah referendum, hal itu bisa berarti kemungkinan keluarnya Inggris dari Uni Eropa.

Dampaknya: Inggris diduga akan menghadapi kerugian ekonomi, yang sulit diramalkan besarannya. Dan Cameron harus menghadapi konsekuensi politik konstitusional. Skotlandia, yang tahun lalu menggelar referendum dengan hasil tidak akan menyempal, akan makin mendekat ke Eropa. Skotlandia lebih ramah Eropa ketimbang Inggris. Jika Inggris keluar dari Uni Eropa, dipastikan Skotlandia akan menyempal dan tetap menjadi anggota.

Bagi Uni Eropa sendiri, hengkangnya Inggris bisa menjadi preseden buruk. Langkah itu bisa ditafsir sebagai saat pecahnya Uni Eropa. Mungkin sejumlah negara akan mengikuti langkah Inggris. Atau paling tidak menuntut hak-hak khusus dan kompromi dalam beberapa tema, sebagai syarat untuk tidak hengkang.

Apa dampaknya bagi Uni Eropa, sat ini belum bisa diramalkan dan diukur. Tapi kita bisa membayangkan, nantinya hanya akan ada sebuah Eropa yang hanya terdiri dari himpunan lepas negara negara kecil, yang harus menghadapi ancaman Rusia di timur, bahaya teror yang mengatas namakan Islam dan tekanan bisnis dari Cina. Juga di panggung politik dunia, himpunan negara kecil Eropa ini tidak akan banyak berperan.

Skenarionya akan berbeda, jika penantang Cameron, Ed Milliband dari Partai Buruh yang memenangkan pemilu. Milliband menolak tegas referedum keanggotaan Uni Eropa, dan jika partai Buruh menang, terlepas dari nanti akan sulit membentuk pemerintahan, masalah tidak akan menjadi akut.

Terlepas dari bagaimana hasil pemilu nanti, alangkah baiknya jika ternyata Cameron terpilih kembali, semua pihak di Inggris yang masih percaya pada proyek Eropa serta negara-negara mitra, melancarkan gerakan untuk meyakinkan partai Konservatif, dengan menunjukkan kepada kelompok skeptis, apa yang sebenarnya mereka pertaruhkan di Eropa.