1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pemilu Bersejarah Diadakan di Irak

12 Mei 2018

Warga Irak memberikan suara secara elektronis untuk memilih wakil yang duduk dalam parlemen beranggotakan 329 kursi. PM Haider al Abadi harus hadai pesaing kuat yaitu pendahulunya.

https://p.dw.com/p/2xZWJ
Irak Wahl | Stimmabgabe in Bagdad
Foto: Reuters/T. al-Sudani

Tempat pemberian suara dibuka di seluruh penjuru Irak hari ini dalam pemilu pertama, setelah pemerintah menatakan kemenangan terhadap organisasi teroris yang menyebut diri Islamic State (IS) akhir tahun lalu.

Pemilu diadakan saat Irak masih dalam face bergeliat untuk membangun negara setelah perang melawan IS selama empat tahun, yang menyebabkan sejumlah kota luluh-lantak.

Pemerintah berusaha cegah manipulasi

Sekitar 7.000 calon dari sejumlah partai politik mengincar kursi di parlemen yang berjumlah 329.

Pemberian suara dilakukan secara elektronis di TPS sebagai langkah untuk menekan manipulasi sebaik mungkin. Jumlah suara resmi akan diumumkan sekitar 48 jam setelah waktu pemberian suara berakhir.

Dalam pemilu, Perdana Menteri Haider al Abadi harus menghadapi saingan kuat, yaitu pendahulunya, Nouri al Maliki. Selain itu, ia juga harus berkompetisi melawan Hadi al Amiri, yang mengepalai aliansi Fatah. Amiri dulu pernah menjabat menteri transpotasi dan komandan pasukan Syiah, Badr, yang berhubungan erat dengan Iran.

"Saya akan memberi tanda X pada kertas suara"

Jamal Mowasawi seorang pria 61 tahun yang berprofesi jadi penjagal mengatakan, "Saya akan ikut pemilu, tapi akan memberi tanda X. Tidak ada keamanan, tidak ada pekerjaan, tidak ada pelayanan. Para calon hanya ingin menambah tebal sakunya, bukan menolong rakyat."

Hazem al-Hassan, seorang penjual ikan berusia 50 tahun di Baghdad mengatakan, "Wajah-wajahnya sama, programnya juga. Abadi adalah yang terbaik dari yang terburuk. Setidaknya saat ia memerintah kita terbebas dari ISIS."

Isu-isu mendasar dalam pemilu adalah: negara terus bergumul menghadapi kemerosotan ekonomi yang sebagian disulut jatuhnya harga minyak global, korupsi, divisi sektarian dan ketidakstabilan selama bertahun-tahun.

Negosiasi untuk membentuk pemerintahan kemungkinan akan berlangsung berbulan-bulan, karena sejumlah partai politik berusaha meracik koalisi agar mampu menduduki sebagian besar kursi di parlemen.

ml/ ap (AP, Reuters)