1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

230909 Afghanistan Good Governance

23 September 2009

Kepercayaan warga Afganistan terhadap pemerintah semakin menipis sejak pemilihan terakhir. Selian itu, korupsi dan nepotisme merupakan penghalang utama dalam proses demokrasi di negeri itu.

https://p.dw.com/p/JnL0
Pemerintah Afghanistan di bawah Presiden Hamid Karzai bukan saja menghadapi TalibanFoto: AP

Kini masalah utama yang harus diatasi pemerintah Afghanistan bukan Taliban semata, akan tetapi korupsi, narkotika dan pemerintah yang terlalu lemah. Hal ini disebabkan terutama karena pengolahan pemerintahan yang buruk atau lebih tepat, terlalu sedikit pengelola pemerintah yang baik di Afghanistan, sehingga demokrasinya goyah. Banyak warga Afghanistan yang kehilangan kepercayan terhadap pemerintah. Padahal, kepercayaan adalah hal yang mutlak dalam proses demokrasi. Demikian tutur Dr. Conrad Schetter dari Pusat Penelitian Perkembangan Universitas Bonn.

Namun pakar Afghanistan itu menyebutkan, kesulitan Afghanistan memenuhi konsep good governance atau pemerintahan yang baik adalah: "Afghanistan bisa disebutkan sebagai contoh sebuah bad governence atau pemerintahan yang buruk. Tetapi saya sedikit berhati-hati menggunakan istilah itu, karena sering dikatakan, hal-hal yang berfungsi baik di Barat, seharusnya berfungsi baik juga di negara lain. Prinsip dari good governance adalah norma dan struktur barat yang dicoba diterapkan di negara lain. Setidaknya, norma dan struktur barat dijadikan ukuran dan hal itu sering bermasalah.“

Namun Dr. Jörn Grävingholt dari Lembaga Penelitian Perkembangan Politik Jerman berpendapat lain. Pakar politik itu antara lain meneliti transformasi sistem politik Barat ke Asia Tengah. Menurutnya, good governance tidak terlalu tergantung pada norma sebuah masyarakat tertentu. Pengolaan pemerintah yang kacau akan berdampak buruk pada semua warganya.

Dan itu tidak tergantung pada budaya dan asalnya, tambah Dr. Grävingholt. Misalnya korupsi: "Korupsi merupakan hal yang mengakar sejak beberapa dekade, bahkan abad. Namun, itu tidak berarti, bahwa dampak korupsi diterima begitu saja oleh warganya. Biasanya korupsi dianggap biasa, jika masyarakat mendapat keuntungan darinya. Tetapi, bila hanya orang-orang tertentu saja yang mendapat keuntungan dari korupsi dan sebagian besar masyarakat tidak dilibatkan, biasanya kegeraman masyarakat sangatlah besar.“

Begitu juga di Afghanistan. Berdasarkan keterangan organisasi non-pemerintah Transparency International, jika dilihat dari perspektif warganya, negara yang terletak di kawasan Hindukush itu merupakan negara terkorup ke lima di seluruh dunia. Menurut Dr. Conrad Schetter dari Universitas Bonn, korupsi dan nepotisme di tingkat kementerian, lembaga pemerintahan lainnya maupun polisi, merupakan hasil pengelolaan pemerintahan yang buruk. Namun pakar politik itu menambahkan, bahwa yang lebih rumit lagi adalah korupsi dan nepotisme yang sudah mengakar pada struktur masyarakat Afghanistan.

Menurut Dr. Jörn Grävingholt, perubahan ke struktur pemerintahan yang transparan dan berfungsi di Afghanistan akan berjalan sangat lamban.

Melanie Riedel / Andriani Nangoy

Editor: Hendra Pasuhuk