1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pemberontakan Kelas Menengah

Regina Mennig, Regina 27 Juni 2013

Di Turki dan Brazil, aksi unjuk rasa didorong oleh para mahasiswa dan kelas menengah.

https://p.dw.com/p/18x21
Demonstrators clash with police in the vicinity of the Mineirao Stadium in Belo Horizonte, June 22, 2013. Demonstrators in Brazil gathered this week to continue the growing protest that is tapping into widespread anger at poor public services, mainly health, education and transport. REUTERS/Alexandre C. Mota (BRAZIL - Tags: CIVIL UNREST BUSINESS EMPLOYMENT POLITICS)
Foto: Reuters

Di hari-hari yang marak dengan demontrasi --sebelum polisi membombardir dengan gas air mata-- di Taman Gezi Istanbul berdiri banyak tenda yang menjual makanan, menyediakan kursus kelas yoga - dan bahkan perpustakaan.

"Semua orang membawa buku, dari hari ke hari perpustakaan makin besar, didatangi sebagian besar intelektual yang berpartisipasi dalam aksi protes," kata Senada Sokollu, yang mewartakan situasi di Istanbul.

DW Senada Sokollu
Senada SokolluFoto: privat

Pecahnya protes di kota metropolis Turki ini mengejutkan, sebab sebagian besar pengunjuk rasa berasal dari keluarga kelas menengah yang terpelajar. Mahasiswa lalu lalang menyandang ransel, duduk bersila di lapangan dan membahas politik.

Banyak yang belum pernah turun ke jalan. Namun kini mereka menyebarkan pesan-pesan politik di Facebook: "Ini luar biasa bagaimana orang menjadi lebih aktif, padahal sebelumnya hanya mem-posting foto-foto panorama seperti di pantai, misalnya", kata Senada Sokollu.

Setelah media Turki tak banyak memberitakan aksi protes di hari-hari awal, banyak orang Turki sekarang mempertanyakan apa yang mereka beritakan selama bertahun-tahun, seperti:- citra Kurdi di negara itu, protes terhadap kebijakan Perdana Menteri Turki Reccep Erdogan - misalnya, perempuan di pinggiran kota yang didominasi kaum konservatif.

Bildergalerie Durch die Barrikaden
Demonstrasi di TurkiFoto: Gaia Anderson

Kelas menengah

Proyek pembangunan di Lapangan Gezi memicu aksi protes di Turki. Sementara di Brazil, kenaikan tarif angkutan juga menyulut aksi demonstrasi. Kedua peristiwa itu terjadi hampir bersamaan. "Di kedua negara, semakin banyak orang memiliki hak untuk berpartisipasi dan didengar - dikaitkan dengan perasaan bahwa orang-orang tak bisa benar-benar berkontribusi pada proses demokratisasi. Demokrasi bukan hanya digerakan nasib, tapi berada pada tangan kita sendiri. Ini persamaan yang ditunjukan dari kedua aksi protes itu,“ ujar Peter Ullrich, pengamat dari Universitas Berlin. Di luar itu ia tidak melihat banyak persamaan lain.

Di Turki, para demonstran menitikberatkan persoalan nilai budaya, sementara di Brazil lebih condong pada perang melawan korupsi dan desakan adanya pemerataan.

Dilma Rousseff
Dilma RousseffFoto: Getty Images/Afp/Evaristo Sa

Direktur Yayasan Konrad Adenauer di Brasil, Felix Dahne mengatakan: “Aksi protes dilakukan mahasiswa, kelas menengah terdidik - orang-orang yang pada dasarnya tidak menderita langsung dari kenaikan tarif“. Kelas menengah Brasil jumlahnya 100 juta dari keseluruhan 195 juta penduduk di negara itu. Sepertiga dari mereka sampai dekade lalu, masih hidup dalam kemiskinan.

Tuntutan untuk didengar

Peter Ullrich memaparkan, secara umum, sangat baik jika protes kelas menengah itu akhirnya didengar. “Cara mereka berunjukrasa, mengutarakan tuntutan, menjadi kunci dalam sistem politik, serta kepentingan untuk menaruh perwakilan dari kelas menengah duduk di sana."

Setidaknya di Brazil, pemberontakan yang dilakukan ribuan demonstran mulai berdampak: Presiden Brazil, Dilma Rousseff ingin mengatasi masalah dalam transportasi, kesehatan dan pendidikan serta membawa aturan lebih keras terhadap tindak korupsi.