1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

100209 Vertragsarbeiter DDR

13 November 2009

Sejak akhir tahun60-an, Jerman Timur mendatangkan pekerja migran. Ketika runtuhnya Tembok Berlin pada tahun 1989, yang diikuti bubarnya Jerman Timur, nasib para pekerja migran ini juga menjadi tidak menentu.

https://p.dw.com/p/KWCl
Dua pekerja asal Vietnam yang bekerja di sebuah pabrik di Jerman TimurFoto: picture-alliance/ ZB

Awalnya para pekerja migran ini datang dari negara-negara sehaluan sosialis, seperti Polandia dan Hungaria. Sejak tahun 1974 juga didatangkan pekerja dari negara-negara di luar Eropa, seperti Vietnam, Mozambik, Angola atau Kuba. Mereka bekerja di sektor industri, di rumah jagal dan pabrik kimia. Mereka membangun rumah-rumah dan jalan raya.

Pemerintah Jerman Timur kala itu di tahun 60-an kekurangan tenaga kerja. Hal itu disebabkan antara lain setelah Perang Dunia ke-2 ratusan ribu pekerja dengan alasan politis dan ekonomis pindah dari Jerman Timur ke Jerman Barat. Penyebab lainnya adalah metode produksi di Jerman Timur kala itu, yang masih mempergunakan mesin-mesin kuno, membutuhkan banyak tenaga kerja.

Tapi karena Jerman Timur tidak ingin mengakui bahwa mereka kekurangan tenaga kerja, sering kali para pekerja migran atau pekerja kontrak ini tidak disinggung-singgung. Tidak pernah sekalipun para penduduk di Jerman Timur mendapat informasi tentang adanya pekerja migran yang akan datang ke desa atau kawasan tempat tinggalnya.

Tamara Hentschel yang tinggal di kawasan Berlin Marzahn masih ingat betul ketika pada tahun 80-an di kawasan tempat tinggalnya tiba-tiba muncul banyak pekerja migran. "Saya sendiri benar-benar terkejut. Saya pergi ke toko dan di toko itu semuanya hitam. Semua orang berambut hitam. Saya pikir, mereka mungkin itu delegasi. Tidak ada seorang pun yang mendapat informasi dan mengetahui mengapa orang-orang itu di sini, dan dari mana asal mereka sebetulnya? Tidak ada yang tahu tentang itu."

Sebuah pameran di Berlin memberikan gambaran lengkap mengenai kehidupan para pekerja kontrak Jerman Timur ketika itu. Materi pameran merupakan dokumentasi Perhimpunan Reistrommel di Berlin yang aktif mengurus tema integrasi dan konsultasi sosial serta politis bagi warga Vietnam di Berllin. Surat-surat, arsip-arsip dan foto-foto menunjukkan bagaimana kondisi para pekerja migran ini dulu tinggal selama tiga sampai lima tahun di Jerman Timur.

Dari materi pameran tersebut mudah terlihat bagaimana standar kehidupan para pekerja kontrak kala itu dibanding standar warga Jerman Timur, yakni sangat buruk. Selain mereka memperoleh upah lebih kecil dibanding rekannya pekerja warga Jerman Timur, kondisi tempat tinggal mereka pada akhir tahun 80-an juga sangat buruk..

"…dengan 9 orang dalam sebuah apartemen, di dalam satu kamar yang dihuni tiga orang, dengan dapur darurat, tiga kompor listrik yang rusak melulu, sebuah bathtub. Semua pakaian dicuci dengan tangan dan dikeringkan dalam rumah. Semua berlangsung dalam tiga shift giliran kerja. Tidak ada yang benar-benar bisa beristirahat. Tidak ada ruang untuk menyendiri, tidak ada ruang pribadi," dituturkan Tamara Hentschel yang pada akhir tahun 80-an bekerja sebagai pengurus di salah satu rumah penampungan para pekerja migran.

Kondisi lain yang menurut Hentschel juga sangat buruk adalah pengawasan pihak berwenang terhadap para pekerja migran ini. Hentschel sendiri sebagai pengurus tempat penampungan itu ditugaskan untuk mengawasi warga asing ini. "Saya berpendapat, penekanan yang sungguh tidak wajar, mengawasi orang-orang ini dari pagi sampai malam. Apakah mereka sakit, apakah mereka hamil, apakah mereka mendapat tamu yang disembunyikan, dengan siapa mereka berkorespondensi. Saya harus mencatat nama penerima dan pengirim, jika surat-surat itu datang dari negara-negara kapitalis. Itu saja sudah cukup negatif bagi saya."

Bagi para pekerja kontrak itu sendiri, pekerjaan di Jerman Timur meskipun dalam kondisi yang demikian berat, tetap menarik. Juga walaupun sebagian upah mereka harus diserahkan kepada pemerintah, dengan sisa pendapatan yang ada, mereka dapat menunjang keluarganya secara finansial. Satu-satunya yang sulit adalah nilai mata uang Jerman Timur dibanding mata uang lainnya tidak begitu tinggi.

Oleh sebab itu para pekerja kontrak di Jerman Timur menginvestasikan upahnya dengan membeli barang. Dan itu hal yang sulit, demikian kenang Ging Wuu Son yang datang ke Berlin tahun 1987. "Tidak ada barang yang dapat dibeli, tapi kami membeli sepeda motor kecil atau sepeda atau gula. Dulu barang-barang itu tidak ada di Vietnam. Tahun 1976 di Hanoi orang dapat menukar sepeda dengan tanah. Sekarang dengan harga tanah tersebut orang dapat membeli dua atau tiga mobil. Begitulah dulu. Jadi dulu kami mengirim sepeda-sepeda ke Vietnam dan orang tua kami menjualnya, dan mereka hidup dari uang tersebut."

Setelah runtuhnya Tembok Berlin tahun 1989, dimulai masa-masa tanpa kepastian bagi para pekerja migran di bekas Jerman Timur. Negara yang melakukan perjanjian kontrak dengan negara asal mereka itu bubar. Para pekerja migran kehilangan pekerjaannya, rumah mereka dan jaminan mereka. Itu pula yang menyebabkan Tamara Hentschel dan pembela hak warga lainnya melakukan kegiatan bagi para pekerja migran ini. Mula-mula mereka mencoba mengetahui hak-hak apa yang dimiliki warga asing setelah runtuhnya Tembok Berlin.

Hentschel memperkirakan dari sekitar 100 ribu pekerja kontrak yang dulu tinggal di Jerman Timur, sekitar 60 ribu berasal dari Vietnam. Setelah penyatuan Jerman sebagian besar meninggalkan Jerman dengan pesangon, tapi sekitar 15 ribu warga Vietnam tetap tinggal di Jerman. Setelah dilakukan sejumlah perubahan dalam undang-undang hak warga asing, pada tahun 1997 akhirnya sebagian besar dari mereka memperoleh hak ijin tinggal secara tetap di Jerman.

Silke Ballweg/Dyan Kostermans

Editor: Yuniman Farid