1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pekerja Freeport Indonesia di Papua Mogok Massal

16 September 2011

Pekerja Freeport melakukan mogok massal menuntut kenaikan gaji. Bulan Juli lalu, para pekerja juga sempat melakukan aksi serupa, dan kali ini mereka telah merencanakan mogok massal hingga tuntutan mereka dipenuhi.

https://p.dw.com/p/12aHa
Aktivis Papua ketika menggelar aksi protes di depan kantor PT Freeport Indonesia 2006 lalu. (AP Photo/Tatan Syuflana)
Aktivis Papua ketika menggelar aksi protes di depan kantor PT Freeport Indonesia 2006 lalu.Foto: AP

Ribuan pekerja  PT. Freeport  secara bergelombang turun meninggalkan areal  tambang di Tembagapura menuju Timika Papua. Sesuai seruan Serikat Pekerja, Jumat (16/09) mereka melakukan aksi mogok kerja.

Juru Bicara Serikat Pekerja Virgo Solossa mengatakan, pemogokan dimulai pada hari Kamis, dan menyebabkan  aktivitas pertambangan lumpuh.  Dia menegaskan, meski perusahaan telah mengancam akan memotong gaji, namun jumlah karyawan yang ikut seruan mogok massal terus membesar. Jumlah pekerja yang ikut aksi kali ini lebih banyak dari aksi sebelumnya yang dilakukan Juli lalu.

"Aksi  ini kita sudah masuk ke hal hal yang subtansi.  Melalui suatu mekanisme  kami sudah berunding dan perundingan itu menurut hemat kami sudah gagal.  Sehingga secara hukum  itu jauh lebih kuat ketimbang aksi yang pertama. Oleh sebab itu  kepercayaan teman teman jauh lebih besar dan itu terbukti dengan dukungan yang akan diberikan seluruh kontraktor yang ada. Jadi otomatis jauh  lebih besar . Dari kemarin mobilisasi sampai hari ini  sudah ada 12 sampai 13 ribu. Tidak sampai 1 bulan, 1 minggu ke depan ini sudah lumpuh, ini produksinya sudah stop kok," kata Virgo Solossa.

Pemogokan ini dilakukan, setelah perundingan antara Serikat Pekerja dan Perusahaan menemui jalan buntu. PT. Freeport menolak tuntutan karyawan untuk menaikkan gaji. Para pekerja PT. Freeport, mengancam akan melakukan aksi mogok selama satu bulan.

"Gaji Pekerja Freeport Indonesia Jauh Lebih Kecil"

Juru Bicara Serikat Pekerja,  Virgo Solossa mengatakan, tuntutan kenaikan gaji  itu  sangat wajar karena upah  yang mereka terima lebih kecil  dibandingkan  pekerja 14 perusahan tambang Freport McMoran di negara lain.

"Kami mengajukan kenaikan dari  1,5 dollar  AS untuk yang terendah per jam itu kami minta dibayar sekitar 17 dollar,   sampai dengan yang tertinggi  25 dollar sekarang, kami minta menjadi 43 dollar. Setelah kami melihat dari produksi dan keuntungan yang dicapai oleh perusahaan. Maka menurut hemat kami, sangat sangat wajar  (tuntutan) upah tersebut.  13 perusahaan lain dibawah naungan Freport Mac Moran itu,  PT Freeport Indonesia primadona nya. Semua aset dan pemasukan terbesar dari kami.  Dia bisa bergerak besar sampai ke Kongo dan terus memperbesar  sayapnya ke negara lain, tapi kenapa upah kami sangat rendah dibandingkan dengan upah Freeport yang lain," Virgo menjelaskan.

Manajemen  Freeport  sejauh ini  menolak berkomentar mengenai aksi mogok ini. Namun  Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Darwin Zahedy Saleh  di Jakarta  mengingatkan dampak ekonomi dari aksi mogok, karena setiap harinya pemerintah Indonesia kehilangan pendapatan Rp 57 milyar. Aksi ini membuat produksi maksimal  emas dan tembaga Freeport turun 230.000 ton setiap harinya.

Juru Bicara PT Freeport Indonesia, Ramdhani Sirait mengungkapkan kekecewaan manajemen atas aksi mogok ini. Katanya, "Manajemen PT Freeport yang pasti kecewa, karena  pada dasarnya  sejak awal perundingan manajemen selalu berupaya berunding dengan itikad baik.  Dan saat ini sedang dilakukan mediasi formal oleh kantor kementerian tenaga kerja di Jakarta dengan mengundang perusahaan dan SPSI tentunya dan kita lihat bagaimana tapi pada intinya perusahan  sangat berharap perundingan kerja bersama terbaru itu bisa kita implementasikan bersama pada Oktober 2011 ini."

PT Freeport, adalah perusahaan asal Amerika Serikat yang mendapat konsesi untuk mengeksplorasi pertambangan di pegunungan Grasberg, Papua, yang menyimpan kandungan emas dan tembaga  terbesar di dunia.

Zaki Amrullah

Editor: Andy Budiman