1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

PBB Rundingkan Perjanjian Perdagangan Senjata

Mirjam Gehrke28 Maret 2013

Tahun 2012, perjanjian perdagangan senjata gagal karena penolakan Rusia, Amerika Serikat dan Cina. Perundingan kini dilanjutkan. Pegiat hak asasi tuntut perjanjian lebih ketat.

https://p.dw.com/p/185QF
ARCHIV - Eine Reihe von Handfeuerwaffen der Firma Kimber, aufgenommen am 18.03.2005 auf der Messe IWA & OutdoorClassics 2005 in Nürnberg.
Simbol SenjataFoto: picture-alliance/dpa

Para diplomat PBB tetap yakin, bisa dicapai kesepakatan untuk pengawasan perdagangan senjata. Bulan Desember lalu, sidang umum PBB menetapkan, sampai hari Kamis (28/03) akan disiapkan rancangan perjanjian perdagangan senjata yang baru. Sebelumnya, Sekjen PBB Ban Ki Moon menyatakan, sangat penting menetapkan standar untuk pengawasan perdagangan senjata konvensional.

Perdagangan internasional dengan pakaian, produksi pertanian dan mainan anak-anak diatur secara ketat. Tapi tidak ada pengawasan untuk perdagangan senjata. Karena itu, sejak lama dilakukan perundingan perjanjian perdagangan senjata yang disebut Arms Trade Treaty (ATT). Tujuannya antara lain untuk memeriksa, apakah senjata yang dijual dipakai untuk melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Selain itu, harus dilakukan pengawasan agar senjata tidak jatuh ke tangan teroris dan organisasi kejahatan. Menurut keterangan PBB, setiap tahun 500.000 orang tewas dalam konflik bersenjata.

Jerman adalah salah satu negara yang mendukung ATT. Seorang jurubicara Kementrian Luar Negeri Jerman mengatakan kepada Deutsche Welle, pemerintah Jerman sudah menegaskan kepada berbagai pihak, bahwa Jerman ingin ada pengawasan perdagangan senjata. Karena aturan yang mengikat akan mendukung stabilitas dan keamanan kawasan.

Masih Banyak Celah

Pegiat hak asasi manusia menilai, rancangan perjanjian yang saat ini dirundingkan di New York masih punya banyak celah. Robert Lindner dari organisasi Oxfam menuntut: „Perjanjian ini harus bisa mengatur dengan ketat, bahwa beberapa bentuk penjualan senjata dilarang.” Lindner misalnya menuntut larangan penjualan senjata ”jika senjata itu jelas-jelas akan digunakan untuk pembunuhan etnis, kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan dan pelanggaran hak asasi yang sistematis”.

PBB sudah melakukan perundingan selama tujuh tahun untuk menetapkan regulasi perdagangan senjata. Kepada DW, Kementerian Luar Negeri Jerman tahun lalu menerangkan, ”perjanjian perdagangan senjata perlu diterapkan untuk semua senjata konvensional, terutama senjata kecil, ringan dan amunisinya”.

Tapi bulan Juli 2012, perundingan ATT gagal karena penolakan dari Amerika Serikat, Rusia dan Cina. Menurut Robert Lindner, rancangan perjanjian saat ini juga tidak lengkap, terutama yang mengatur model senjata dan amunisi. ”Hampir tidak ada pengawasan untuk amunisi. Juga untuk suku cadang senjata. Pengawasan hanya ada untuk senjata berat, panser, pesawat tempur dan kapal perang.” Padahal dalam konflik bersenjata, kebanyakan orang terbunuh dengan senjata ringan.

***Sperrfrist bis Montag 18.03. 2013 00:01*** --- ***Not to be used before Monday March 18th 2013 00:01*** --- 2013_03_14_sipri_waffen_import.psd
Importir senjata terbesar adalah India, Cina, Pakistan, Korsel dan Singapura

Kepentingan Ekonomi

Hampir 900 juta senjata ringan sekarang beredar di seluruh dunia. Menurut Amnesty International, setiap satu menit satu orang tewas tertembak. Bisnis senjata menghasilkan lebih 60 miliar Euro setiap tahun.

Tidak ada negara yang secara terbuka menentang pengawasan perdagangan senjata. Tapi banyak negara yang ingin aturan pengecualian, karena mereka punya kepentingan ekonomi, terutama Amerika Serikat, Rusia dan Cina.

Juga negara-negara ambang industri sekarang mulai mempertimbangkan untuk terjun dalam industri senjata. ”India, Brasil dan Afrika Selatan ingin membangun industri senjata. Jadi mereka kuatir, kalau ada pengawasan terlalu ketat, mereka tidak mendapat pasokan,” kata Robert Lindner. Banyak negara yang menuntut agar perjanjian diperlonggar. Kalau mereka berhasil, ”tidak ada beda lagi, apakah ada perjanjian ini atau tidak”, tukas Lindner.