1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

030611 China Afrika

9 Juni 2011

Aktivitas Cina di Afrika selama ini dipandang negatif oleh Barat. Cina dipandang menyuap pemerintah negara Afrika dan mempromosikan budaya korupsi. Namun para pemimpin Afrika justru menuding Barat berstandar ganda.

https://p.dw.com/p/11Woh
Gambar simbol hubungan Cina-AfrikaFoto: AP

Ekonom Amerika Deborah Bräutigam selama beberapa dekade mengamati keterlibatan Cina di benua Afrika. Cina saat ini dipandang media-media Barat sebagai kekuatan besar baru di Afrika. Pandangan yang menurut Bräutigam berdasar pada kekhawatiran Barat akan adanya pesaing baru di dunia ekonomi dan politik. Padahal berdasarkan statistik perdagangan Afrika, Cina memang salah satu pemain namun bukan pemain baru.

Ide bahwa Cina membeli pengaruh di Afrika dengan kebijakan agresif seperti menyuap menurut Bräutigam lahir dari prasangka buruk dan kecemburuan Barat. Prasangka yang tidak didukung bukti nyata. Kebijakan yang dikritik pun sebenarnya umum dipraktekkan perusahaan-perusahaan Barat dalam memenangkan kontrak. Ujung-ujungnya, dunia Barat hanya ingin membantu, sedangkan Cina hanya ingin berinvestasi.

Jurnalis Uganda Andrew Mwenda membenarkan bahwa saat ini sudah tidak bisa lagi memandang sebelah mata beragam aktivitas Cina di Afrika. Seperti dalam krisis Libya, Cina harus mengevakuasi 30 ribu lebih pekerja dan teknisinya. Namun memang bukan hanya Cina yang menjadi partner penting bagi Afrika. Andrew Mweda menambahkan, berbeda dengan mitra lainnya, seperti dari Eropa, Cina tidak ikut campur dengan kebijakan yang dijalankan satu negara.

Mantan Menteri Luar Negeri Senegal Cheikh Tidiane Gadio juga tidak dapat mengeluhkan penetrasi Cina di negaranya. Setidaknya jika dibandingkan dengan bantuan dunia Barat untuk Afrika. Bagi Gadio, sungguh menggelikan bahwa Barat menuding Cina tidak mendukung demokrasi dan malah menelurkan rezim-rezim terburuk di dunia bisnis.

Baik Amerika Serikat, Eropa Barat maupun Cina, bagi para politisi Afrika, masa depan benua tersebut tergantung pada investor besar yang mau bernegosiasi pada derajat yang sama.

Thomas Klatt/Carissa Paramitah

Editor: Hendra Pasuhuk