1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikMyanmar

Oposisi Myanmar Deklarasikan “Perang” Melawan Junta Militer

7 September 2021

Pemerintahan bayangan Myanmar mengumumkan perlawanan terbuka melawan junta militer, terhitung sejak Selasa (7/9). Mereka memobilisasi milisi bersenjata dan kelompok separatis etnis, serta menyerukan pembangkangan sipil.

https://p.dw.com/p/400Tw
Presiden pemerintahan bayangan Myanmar, Duwa Lashi La, dalam pidato deklarasi "perang", 7/9.
Presiden pemerintahan bayangan Myanmar, Duwa Lashi La, dalam pidato deklarasi "perang", 7/9.Foto: National Unity Government via Facebook via AP/picture alliance

Pemerintahan Persatuan Nasional (NUG), yang dibentuk oleh kelompok pro-demokrasi, membeberkan strategi untuk mengakhiri kekuasaan militer, sembari mendeklarasikan darurat nasional di Myanmar, Selasa (7/9).

Strategi itu menitikberatkan pada perlawanan bersenjata dan pembangkangan sipil.

Duwa Lashi La, Presiden NUG, mengajak semua elemen masyarakat untuk melancarkan "perang bela diri,” demi "menumbangkan kekuasaan teroris militer pimpinan Min Aung Hlaing di setiap penjuru negeri,” kata dia seperti dilansir Reuters.

Saat ini kelompok oposisi dikabarkan telah memobilisasi kekuatan militer di bawah bendera Pasukan Pertahanan Rakyat (PDF), dan menjalin aliansi dengan kelompok separatis etnis di wilayah-wilayah perbatasan.

Junta sebaliknya melabeli NUG dan PDF sebagai kelompok teror.

Anggota Pasukan Pertahanan Rakyat Karen (KPDF) sedang berlatih di Negara Bagian Kayah, (7/7).
Kelompok oposisi Myanmar memobilisasi kekuatan tempur, termasuk dari kalangan separatis etnis, untuk melawan junta militer. Dalam gambar terlihat anggota Pasukan Pertahanan Rakyat Karen (KPDF) sedang berlatih di Negara Bagian Kayah, (7/7).Foto: AFP

Duwa mendesak pegawai negeri sipil yang ditunjuk militer agar "secepatnya meninggalkan jabatannya,” kata dia dalam sebuah pidato. Dia mengimbau serdadu Tatmadaw untuk membelot, dan mengajak kelompok separatis untuk menggiatkan serangan terhadap militer.

Perang terus berkecamuk di negara-negara bagian di kawasan perbatasan Myanmar. Pasukan Tatmadaw dikabarkan menghadapi perlawanan hebat dari warga sipil yang memobilisasi diri dan hanya mengandalkan senjata dan bom rakitan.

Harian The Irrawady melaporkan, setidaknya sebanyak 580 pasukan junta militer tewas dan hampir 190 luka-luka dalam 443 serangan di sepanjang bulan Agustus, klaim NUG. Sebaliknya Tatmadaw menewaskan 73 warga sipil dan melukai 45 lainnya dalam 129 insiden kekerasan selama periode yang sama.

Desakan damai di tengah eskalasi

Sejak bulan lalu, pemimpin junta, Jendral Min Aung Hlaing, secara resmi dilantik sebagai perdana menteri dalam pemerintahan transisi, dan diklaim bertugas hingga pemilihan umum pada 2023. 

Sabtu (4/9) silam, utusan khusus ASEAN untuk Myanmar, Erywan Yusof, mengabarkan menteri luar negeri junta, U Wunna Maung Lwin, sudah menyetujui proposal gencatan senjata hingga akhir tahun. Yusof mengatakan gencatan senjata berlaku untuk penyaluran bantuan kemanusiaan, terutama ke wilayah yang terdampak pandemi corona. 

NUG sebaliknya mengritik junta tidak bisa dipercaya mematuhi komitmen damai. Saat ini junta masih menangkapi ribuan penduduk dan tokoh pro-demokrasi, klaim menteri hak asasi manusia NUG, U Aung Myo Min, kepada The Irrawady.

Hingga Sabtu, junta dicatat telah menewaskan 1.046 warga sipil dalam pembunuhan di luar hukum, dan menahan 7.879 orang, serta menerbitkan perintah penangkapan terhadap 1.984 lainnya, klaim NUG. Hingga kini sudah sebanyak 6.230 orang ditahan, termasuk Aung San Suu Kyi dan Presiden U Win Myint.

Perang berkecamuk ketika wilayah terluar di Myanmar sedang menghadapi pandemi corona. Erywan Yusof yang seorang diplomat Brunei, mengatakan, gelombang pertama obat-obatan dan perlengkapan medis sudah siap dikirimkan.

Namun lantaran tidak memiliki kontak dengan kelompok separatis etnis, ASEAN harus menyalurkan bantuan melalui jalan darat dari Thailand yang berbatasan. 

rzn/hp (rtr, ap, irrawady)