1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Oposisi Malaysia Skeptis atas Rencana Pencabutan ISA

Andy Budiman16 September 2011

Perdana Menteri Malaysia Najib Razak, Kamis (15/09) malam mendadak mengumumkan rencana pencabutan Undang-Undang Keamanan dalam Negeri atau Internal Security Act (ISA) dan Undang-Undang Darurat.

https://p.dw.com/p/12aJS
epa02765468 Malaysian Prime Minister, Najib Razak (R) and his deputy Muhyiddin Yassin during the Malaysian King official birthday celebration in Kuala Lumpur, Malaysia, 04 June 2011. The King is the highest ranking office created by the constitution of the federation of Malaysia. The King also is the supreme head of Islam in the country as well as the head of the military, appointing ministers, judges and ambassadors. Under a rotational system of succession introduced towards the end of British colonial rule in 1957, nine state rulers take turns to occupy the throne for five years. EPA/AHMAD YUSNI usage Germany only, Verwendung nur in Deutschland
PM Malaysia Najib Razak umumkan rencana pencabutan ISAFoto: picture-alliance/dpa

Dua undang-undang kontroversial ini, sebelumnya sering dipakai oleh pemerintah Malaysia untuk membungkam oposisi dan media massa yang berani mengkritik pemerintah.

Persiapan Pemilu

Kolumnis terkenal Malaysia Karim Raslam menyebut, langkah ini diambil oleh Perdana Menteri Najib Razak, agar bisa memenangkan hati rakyat dalam pemilihan umum tahun 2012.

“Perdana Menteri Najib itu seorang politisi, dan tak ada politisi yang mau kalah. Jadi langkah ini diambil oleh perdana menteri sebab dia ingin menang dalam pemilihan umum yang akan datang. Jadi kalau tidak ada tekanan dari pihak oposisi yang kuat, pasti dia tak mau mencabut undang-undang yang selama ini menguntungkan pemerintah," papar KKarim Raslam.

Internal Security Act (ISA) membolehkan pemerintah Malaysia melakukan penahanan tanpa batas jangka waktu tertentu dan tanpa melalui proses pengadilan. Undang-undang itu adalah warisan kolonial yang dulu dipakai Inggris untuk memerangi orang Malaysia yang menginginkan kemerdekaan. Ironisnya, setelah merdeka, aturan ini justru dipakai oleh pemerintah Malaysia untuk menekan kelompok oposisi.

Ribuan orang, mulai dari politisi, seniman, dan wartawan yang berani mengkritik pemerintah, pernah ditahan tanpa pengadilan dengan menggunakan dua undang-undang ini, termasuk diantaranya mantan wakil perdana menteri Malaysia yang kini menjadi tokoh oposisi, yakni Anwar Ibrahim.

Bukan Kebebasan Sepenuhnya

Malaysiakini.com dikenal sebagai media yang paling kritis terhadap pemerintah. Berkali-kali, mereka ditekan dan kantornya dipaksa tutup oleh penguasa. Pemimpin redaksi Malaysiakini.com, Steven Gan, mengaku terkejut dengan pengumuman Perdana Menteri Najib. Bagi dia, keputusan ini akan sedikit membuka ruang kebebasan. Meski kata dia, pemerintah Malaysia punya sejumlah aturan lain yang memungkinkan mereka tetap melakukan pembatasan.

Steven Gan menilai, Perdana Menteri Najib bukanlah tipe pemimpin yang suka pembaruan, "Perdana Menteri Najib tidak dikenal sebagai pemimpin yang suka bicara soal reformasi. Itu seperti Gaddafi bilang bahwa dia akan memberi kebebasan politik untuk rakyat Libya,“ kata Steven Gan.

Steven Gan menambahkan, perubahan sikap Najib ini juga terpengaruh atas apa yang terjadi di Negara-negara Arab. Bagaimanapun, Najib punya kekhawatiran, apa yang terjadi pada Gaddafi di Libya atau Mubarak di Mesir, juga akan terjadi di Malaysia. "Hal terbaik yang bisa dilakukan oleh Perdana Menteri Najib adalah membawa beberapa perubahan yang telah dia mulai kemarin dengan pencabutan ISA“, kata Steven Gan.

Malaysia selama ini dikategorikan sebagai negara semi otoriter. Meski ada pemilu reguler, namun dianggap penuh rekayasa. Selain itu, kebebasan berserikat dan berpendapat juga dibatasi pemerintah. Lembaga pemeringkat demokrasi dan kebebasan terkenal,, Freedom House, menempatkan Malaysia sebagai “partially free” atau negara yang tidak sepenuhnya punya kebebasan.

Andy Budiman

Editor: Yuniman Farid