1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Nilai Sebuah Peradaban

Andibachtiar Yusuf14 Desember 2015

Apa hebatnya Amerika yang baru mulai "beradab" di abad 19, dibanding Indonesia yang sejak abad 7 sudah mendunia? Nyatanya negeri paman Sam kini lebih maju dari Indonesia. Bahkan dalam segala lini.

https://p.dw.com/p/1HMrH
Symbolbild - Etatstreit in den USA
Foto: picture-alliance/dpa

Saya selalu membayangkan Amerika Serikat sebagai sebuah dunia yang berbeda. Negaranya orang kulit putih, gangster yang rajin tembak-tembakan, musik rock yang menggema di setiap garasi sampai tempat lahirnya banyak superhero pelindung dunia. Lalu saya mendarat di Los Angeles sekitar dua tahun lalu untuk merasakan bahwa Amerika Serikat yang saya kira sedemikian rupa nyatanya sama sekali berbeda.

Radio mereka memutar musik yang sama dengan yang terdengar di radio-radio populer Indonesia, para penyiar juga bercuap-cuap dengan metode yang serupa dengan apa yang saya dengar di tanah air. Perbedannya hanya satu dan bagi saya tidaklah terlalu elementer…sementara radio-radio kita mencampur bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris aksen Amerika, radio di negeri Paman Sam sepenuhnya menggunakan bahasa Inggris aksen Amerika.

Kemudian kini saya berada di New York, sisi Timur negeri yang orang sebut sebagai Tanah Harapan. Di The Big Apple lagi-lagi saya merasakan hal yang sama. New York yang gegap gempita dan bagai tak pernah tidur bagi saya tak banyak jauh dengan Jakarta yang juga gemuruh. Memang Jakarta tak punya kerlap-kerlip lampu segemerlap New York, tapi seperti New York, ibukota Republik juga punya vibrasi sangat besar pada aura pengharapan dan tentu saja satu hal yang selalu kita dendangkan…….aura multikultur.

Bangsa besar?

“Cara pikir orang sini juga sama kok dengan kita,” ujar Luthfi, kawan yang basementnya saya tebengi selama hampir lebih dari 3 minggu. Ia pun merasakan hal yang sama, bahwa bangsa Amerika dan Indonesia memiliki banyak persamaan secara manusia. “Duduk di subway selalu bagaikan di Jakarta lalu sebelah kiri omong Jawa, kanan Minang, depan Bugis, ujung sanaan dikit Batak, demikian seterusnya,” ujar Luthfi, pengalaman yang juga saya rasakan selama beberapa hari di New York.

New York Verkehr Manhattan
New York juga sama macetnya dengan Jakarta. Bedanya di sana disiplin masih melekat.Foto: picture-alliance/Sergi Reboredo

Kita dan mereka praktis sama, sama-sama merasa sebagai pusat dunia dan selalu menyebut bangsanya yang terbesar. Sama-sama merasa sebagai yang terbaik di dunia—ingat, kita selalu menertawakan negeri kecil secara fisik namun lebih besar secara kemampuan macam Thailand atau bahkan Uzbekistan—sama-sama merasa sebagai negeri paling multikultur. Bisa jadi penetrasi budaya yang dikirim Amerika Serikat ke seluruh dunia, dengan mudah diserap di Indonesia tanpa saringan salah satu penyebabnya adalah betapa multikulturnya kita, sehingga tak lagi kita bisa berlindung pada budaya lokal (yang merumuskannya saja kita tak mampu).

Apapun yang datang dari Amerika Serikat adalah sebuah kebenaran, bahkan cara berbahasa Inggris kita pun adalah cara mereka. Lalu sumber berita dan kebenaran bahwa bangsa anu adalah penjahat dan bangsa anu adalah orang baik juga datang dari sana. Lalu sudah serupakah kita dengan mereka? Jelas sudah, jika kita hanya membahas kulit luar atau gimmick budaya, cara pikir bahkan mungkin peradaban.

Harus memahami aturan untuk jadi beradab

Peradaban? Nanti dulu, mereka mungkin sama brengseknya saat para penyeberang melintasi lampu merah pejalan kaki dengan semena-mena. Namun mereka jelas jauh lebih teratur lebih paham pada banyak hal kecil yang di negeri kita adalah sesuatu yang lumrah untuk dilanggar.

Tak ada sekalipun pengendara kendaraan bermotor—setidaknya di New York, Connecticut atau Washington DC—yang bertelepon ria saat sedang berkendara, apalagi melanggar lampu lalu lintas. Tak ada juga aksi kekerasan di jalan apalagi pemukulan, karena hal seperti ini akan bisa membawa mereka masuk penjara lalu pengadilan.

Indonesien Andibachtiar Yusuf
Andibachtiar YusufFoto: Andibachtiar Yusuf

New York atau dua negara bagian lain yang tadi saya sebut mungkin bukan representasi dari 47 negara bagian lain negeri Paman Sam. Namun jika merujuk pada Republik Indonesia yang tak kalah besar ukuran bodinya, kesemrawutan praktis terjadi nyaris di semua tempat—tentu dengan level dan versinya masing-masing—kita jelas jauh tertinggal pada masalah peradaban.

Saya mungkin terasa merendahkan peradaban kita yang konon sudah sangat tua, apalagi nekad membandingkannya dengan Amerika Serikat yang baru memulai peradabannya selepas Perang Sipil pada 1865, dan lalu memformulasikan apa itu budaya bangsa mereka selepas Perang Dunia II. Intinya, kita tumbuh sama dengan mereka di saat yang kurang lebih sama. Bahkan jika mau belagak pilon, saat mereka masih nomaden dan bakar manusia lain yang dianggap tukang sihir di tanah nenek moyangnya…..Candi Borobudur sudah berdiri megah di tanah Jawa.

Lalu mengapa kita kini jauh tertinggal secara peradaban? Mungkin karena pada faktanya, lahir dan tumbuh di saat bersamaan tak cukup. Butuh pekerti, pola pikir pada pemahaman untuk memahami bahwa sesuatu tak bisa dicapai hanya dengan jargon.....yang sayangnya baru sampai disitu sajalah kemampuan kita.

Andibachtiar Yusuf

Filmmaker & Constant Traveller

@andibachtiar