1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikMalaysia

Muhyiddin Ditunjuk Pimpin Pemerintahan Transisi Malaysia

16 Agustus 2021

Kisruh politik di Kuala Lumpur melengserkan PM Muhyiddin Yassin dan mendorong investor angkat kaki dari Malaysia. Demi menjaga stabilitas, Kerajaan menunjuknya memimpin pemerintahan transisi, sampai pemilu pascapandemi.

https://p.dw.com/p/3z2YM
Perdana Menteri Muhyiddin Yassin, Senin (16/08)
Perdana Menteri Muhyiddin Yassin, Senin (16/08)Foto: FL Wong/AP/picture alliance

Perdana Menteri Muhyiddin Yassin sejatinya telah mengajukan pengunduran diri kepada Yang di-Pertuan Agong, namun ditetapkan untuk mengawal pemerintahan transisi, tulis Kerajaan Malaysia, Senin (16/08).

Lengsernya ketua Partai Pribumi Bersatu Malaysia itu menyusul huru-hara politik selama beberapa bulan terakhir yang melumat dukungan mayoritas di parlemen, dan menyudahi 17 bulan kekuasaan perdana menteri. Tapi ketegangan antara Muhyiddin dan sejumlah rekan koalisinya sebab itu dikhawatirkan akan ikut berimbas pada pemerintahan transisi.

"Menyusul pengunduran diri, raja memerintahkan Muhyiddin mengisi peran sebagai pelaksana tugas perdana menteri, sampai perdana menteri baru bisa dipilih," demikian menurut keterangan pers seperti dilansir Reuters.

Raja Malaysia Yang di-Pertuan Agong Abdullah dari Pahang, menolak penyelenggaraan pemilu di tengah pandemi, lantaran krisis kesehatan yang kini mendekap Malaysia. Negeri jiran itu tergolong yang paling parah terdampak pandemi corona di Asia Tenggara.

Krisis politik di tubuh koalisi Perikatan Nasional bereskalasi ketika Malaysia berusaha menghidupkan roda ekonomi di tengah pandemi. Dalam pidato televisinya, Muhyiddin mengaku terpaksa mengundurkan diri lantaran kehilangan dukungan di parlemen, dan berharap agar pemerintahan transisi bisa dibentuk secepat mungkin.

Dia diminta terus memerintah karena tidak adanya kandidat lain yang mampu mengumpulkan mayoritas di Dewan Rakyat, klaim kerajaan. Menurut konstitusi Malaysia, raja menunjuk perdana menteri dari kalangan anggota parlemen dengan syarat memiliki dukungan mayoritas. Belum jelas bagaimana keterlibatan Muhyiddin bisa membantu meredakan kisruh yang kini membuat gelisah investor asing.

Demonstrasi menuntut lengsernya Muhyiddin Yassin oleh kelompok oposisi, Senin (02/08)
Demonstrasi menuntut lengsernya Muhyiddin Yassin oleh kelompok oposisi, Senin (02/08)Foto: FL Wong/AP/picture alliance

Apa dampaknya lengsernya PM Muhyiddin?

Menyusul perkembangan di Kuala Lumpur, mata uang Malaysia anjlok ke nilai terendah dalam setahun terakhir, Senin (16/08). Nilai tukar ringgit terhadap Dollar AS berkontraksi sebanyak 0,1%, sementara indeks acuan menurun 0,4 persen.

"Masalahnya adalah ketidakpastian politik yang memicu stagnasi di pasar keuangan," kata Trinh Nguyen, ekonom senior di Natixis, Hong Kong. "Dengan krisis politik yang terus berlangsung, sangat sulit untuk melihat Malaysia mampu memotori pertumbuhan. Artinya Malaysia semakin tertinggal dibandingkan negara regional seperti Vietnam."

Persepsi investor asing dianggap kunci karena menguasai sekitar 40% utang negara. Aliran modal ke luar negeri dikabarkan meningkat pesat seiring terhambatnya perencanaan bisnis dan reformasi sistem perpajakan. Saat ini ekonom menilai, prioritas utama bagi investor adalah adanya kepemimpinan yang stabil di Kuala Lumpur.

"Di level makro, kami masih optimis, tapi untuk mempertahankannya situasi politik harus ditanggulangi secepat mungkin," kata Mohammed Faiz Nagutha, ekonom ASEAN di Bank of America Securities di Singapura. "Apa yang penting bagi saya adalah adanya pemerintahan yang bisa bekerja. Skenario terburuk adalah jika sebagian kebijakan ekonomi disingkirkan akibat situasi politik ini."

Menurut rencana awal, pemilihan umum di Malaysia baru akan bisa diselenggarakan secepatnya pada bulai Mei 2023. Namun Muhyiddin mengindikasikan penyelenggaraan pemilu bisa diundur hingga bulan Juli 2023. Tapi pakar menilai keberadaannya di pucuk pemerintahan tidak menyelesaikan masalah.

"Muhyiddin sebaiknya tidak mengemban jabatan pelaksana perdana menteri terlalu lama," kata Bridget Welsh, peneliti di University of Nottingham, Malaysia. Menurutnya, kisruh antara sang perdana menteri dan rekan koalisi "ikut berdampak pada reputasi internasional Malaysia."

"Secepatnya Malaysia mendapat pemerintahan baru tanpa Muhyiddin di dalamnya, semakin baik pula situasinya," kata dia.

rzn/hp (rtr,ap)