1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Misteri Aksi Amok

Kathrin Witsch20 April 2013

Kasus penembakan amok terus bertambah. Pertanyaan lain yang belum terjawab: Mengapa ada pelaku amok? Sebuah penelitian mencari jawabannya.

https://p.dw.com/p/18JQi
Foto: picture-alliance/dpa

Erfurt 2002. Dalam kurun waktu 20 menit seorang pria berusia 19 tahun menembak mati 16 orang dan kemudian dirinya sendiri. Penembakan amok di sekolah Gutenberg Gymnasium adalah yang pertama di Jerman, yang pelakunya adalah bekas murid di sekolah tersebut.

Walau penembakan amok secara statistik jarang terjadi, 11 tahun setelahnya Jerman berada di peringkat kedua setelah Amerika Serikat. Kini proyek penelitian "Target" menganalisa penembakan amok khususnya penembakan di sekolah-sekolah Jerman. Tujuannya mencari tahu penyebab kasus itu terjadi.

Adakah Ciri Khas Pelaku Amok?

Laporan media tentang pelaku amok seakan memberi gambaran bahwa pelakunya adalah laki-laki, penyendiri, suka senjata, dan sakit psikis. Seperti pada insiden Winnenden 2009. Tapi kenyataanya lebih rumit. Banyak remaja yang mengalami bullying, memainkan games komputer tembakan dan tertarik dengan senjata. Tapi hanya segelintir diantara mereka yang kemudian menjadi penembak amok.
Khususnya hubungan antara pelaku amok dan games komputer tidak sepenuhnya benar. Demikian menurut psikolog Andreas Zick dari Universitas Bielefeld. "Games komputer tidak menyebabkan kekerasan. Kondisi psikis mereka yang memainkannya lah yang menentukan. Para penembak amok tahu bahwa games komputer bukannya situasi nyata. Mereka kemudian hanya menerapkannya di dunia nyata."

Andreas Zick Sozialpsychologe
Psikolog Andreas ZickFoto: Universität Bielefeld

Masalah psikologis adalah penjelasan yang masuk akal bagi banyak orang. Beberapa pelaku amok benar-benar menderita skizofrenia. Mereka tidak bisa membedakan fantasi dan realita, seperti Seung-Hui Cho yang menembak mati 32 orang di Colorado dan kemudian dirinya sendiri. Yang lain mengalami depresi berat atau bipolar. Tapi hanya sedikit yang menderita penyakit psikologis yang parah.

Penembakan Amok Selalu Direncanakan
Pelaku penembakan amok merencanakan aksinya selama bertahun-tahun. Amok tidak terjadi secara spontan. Suatu ketika, sekedar merencanakannya tidak lah cukup sebagai kompensasi. Banyak pelaku yang kemudian mengalami "radikalisasi sendiri". Mereka selalu teringat untuk melakukannya dan merasa sangat wajib untuk menuntaskannya.

Mereka mengira lewat penembakan amok mereka tidak akan dilupakan oleh masyarakat. Sehingga perasaan "tidak berguna" digantikan dengan perasaan akan "selalu diingat" walau sudah mati. Seperti Eric Harris dan Dylan Klebold, pelaku penembakan massal di Columbine yang hingga kini "menginspirasi" banyak pelaku amok. Mereka mencapai keinginan untuk dikenal seluruh dunia.

Proyek "Target" kini setidaknya memberikan harapan untuk mengenali gejala awal calon pelaku penembakan amok. Pertanyaan apa yang memicunya, kapan dan mengapa seorang manusia menjadi pembunuh massal juga bagian dari penelitian. Mungkin hasil penelitian kelak bisa turut membantu para calon pelaku sebelum berhasil melakukan aksinya.