1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

"Mission Impossible" untuk Geser Gbagbo

29 Desember 2010

Ancaman aksi militer regional tidak cukup untuk membujuk Laurent Gbagbo turun dari kursi kepresidenan Pantai Gading. Delegasi negara-negara Afrika Barat gagal menjalankan "mission impossible“ yang terbukti mustahil.

https://p.dw.com/p/zr4O
Laurent Gbagbo.Foto: AP

Banyak pihak menilainya sebagai misi yang mustahil, toh blok Afrika Barat tetap melakukannya. Tiga presiden, dari Benin, Sierra Leone dan Cape Verde menemui Laurent Gbagbo Selasa siang (28/12).

Pesan yang dibawa dari Komunitas Ekonomi Negara-Negara Afrika Barat, ECOWAS, adalah Gbagbo harus mundur atau menghadapi intervensi militer.

Malam harinya mereka meninggalkan ibukota Abidjan dengan tangan hampa dan mengatakan bahwa dibutuhkan pembicaraan berikutnya.

Gbagbo memang diperkirakan tidak akan mematuhi seruan ECOWAS. Kubunya sejak awal memperingatkan agar pihak asing, termasuk sesama negara Afrika, untuk tidak ikut campur.

Konflikt Elfenbeinküste
Salah satu anggota delegasi, Presiden Benin Boni Yayi (ki), tiba di bandara Felix Houphouet, di Abidjan, Selasa (28/12).Foto: AP

Sebelum bertemu delegasi ECOWAS, Gbagbo mengatakan, "Saya kira mereka akan menerangkan bahwa Ouattara yang terpilih dan saya tidak. Saya tidak bersedia kompromi. Saya menginginkan kebenaran."

Dan kebenaran bagi Gbagbo sudah jelas, bahwa ia yang dipilih rakyat Pantai Gading sebagai presiden dan ia adalah korban konspirasi internasional, yang dipimpin bekas penjajahnya, Perancis. Sebuah komplotan yang bertujuan menggantikan dia dengan saingannya Outtara, yang berbeda dengan Gbagbo, menikmati dukungan dunia.

Dunia internasional mengakui Alassane Ouattara sebagai pemenang pemilihan Presiden Republik Pantai Gading bulan lalu, namun Gbagbo menggunakan militer untuk bertahan di pucuk kekuasaan. Kerusuhan pasca pemilu sejauh ini menewaskan 173 orang.

Gbagbo menolak tekanan besar internasional, termasuk larangan bepergian dari Uni Eropa dan Amerika Serikat, juga pembekuan bantuan dari Bank Dunia dan pemutusan akses terhadap dana negara oleh Bank Sentral Afrika Barat.

Ouattara mencoba untuk menjalankan pemerintahan alternatif di Golf Hotel yang diamankan pasukan PBB di ibukota Abidjan. Tetapi Gbagbo memegang semua instrumen kekuasaan. Ia bahkan memerintahkan agar pasukan penjaga perdamaian PBB angkat kaki dari negara itu. PBB mengabaikannya dan bertekad

Elfenbeinküste Gbagbo Polizei
Polisi Pantai Gading berjaga saat pawai pemuda di Abidjan (20/12). PBB mengutuk intimidasi terhadap staf PBB, menyusul tuntutan Gbagbo agar ribuan pasukan PBB enyah dari negara itu.Foto: ap

Warga Pantai Gading yang kuatir akan gelombang kekerasan memilih untuk mengungsi ke negara-negera tetangga. PBB menyatakan, sementara ini 19.000 orang mencari perlindungan di Liberia. Sebuah negara yang beberapa tahun lalu mengalami perang saudara dan hingga kini tidak berada dalam kondisi mampu mengurusi ribuan pengungsi.

Karena itu juga blok Afrika Barat mengirim tiga presiden, Thomas Boni Yayi dari Benin, Ernest Bai Koroma dari Sierra Leone dan Pedro Pires dari Cape Verde ke Pantai Gading. ECOWAS bukan hanya menguatirkan pecahnya lagi perang saudara di negara tetangga, tetapi juga masuknya arus pengungsi ke negara mereka.

Ketiga presiden meninggalkan Abidjan Selasa malam utnuk melapor kepada Presiden Nigeria, Goodluck Jonathan, ketua ECOWAS, yang diharapkan menetapkan tanggal bagi pembicaraan baru.

Sementara itu, Laurent Gbagbo bersikukuh menduduki kursi kepresidenan dan militer, yang dituduh PBB melakukan pembunuhan dan penculikan, tetap memegang kendali di Abidjan.

Marc Dugge/ Renata Permadi
Editor: Hendra Pasuhuk