1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Ganyang Budaya Bro!

Indonesien, Nadya Karima Melati, Bloggerin
Nadya Karima Melati
18 Juli 2020

Sepanjang masa pandemi ini, webinar menjamur, termasuk di Indonesia. Namun mengapa kebanyakan narasumbernya pria? Di mana para pakar atau pembicara perempuan? Kolom Nadya Karima Melati kali ini menyoroti fenomena itu.

https://p.dw.com/p/3fIRc
gambar simbol laki-laki
Gambar ilustrasiFoto: picture-alliance/dpa/A. Arnold

Retna pusing sekali, sebagai pembawa acara sejarah di salah satu TV Swasta Nasional, dia selalu kesusahan dalam mencari narasumber sejarawan perempuan. Ia sadar sekali bahwa hampir seluruh episode sejarah diisi oleh sejarawan lelaki. 

Retna merasa, sejarawan perempuan butuh juga disuarakan, tidak mungkin tidak ada sejarawan perempuan di Indonesia ini. Menolak malas, Retna berusaha untuk mencari referensi dan kenalan sejarawan perempuan dan ketemu. Di bidang aktivisme ada Tunggal Pawestri yang juga protes hal yang sama. Ia sangat muak dengan diskusi di mana seluruh pembicaranya didominasi oleh lelaki. Protes para feminis ini juga disuarakan oleh sebuah akun Instagram @lawanseksisme. Akun Instagram ini muncul secara anonim dan dibuat khusus untuk memprotes budaya bro atau kultur pengetahuan maskulin. Apa itu budaya bro dan bagaimana cara-cara untuk mengakhirinya?

 Nadya Karima Melati, Blogger
Penulis: Nadya Karima MelatiFoto: Nadya Karima Melati

Budaya Bro Ciri Patriarki yang Mengakar 

Budaya bro adalah sebuah kultur yang berakar dari kebiasaan masyarakat yang terlanjur hidup dalam lingkungan patriarkis. Masyarakat yang terbiasa hidup di dalam lingkungan yang didominasi lelaki tidak mempertanyakan epistemologi ataupun metode dalam sebuah ilmu. 

Sebagai prinsip, budaya bro bisa dilihat sebagai upaya yang menangguhkan ilmu pengetahuan untuk menguatkan nilai-nilai sosial dan konsep-konsep kenyataan dominan. Dalam kehidupan sehari-hari budaya bro bisa ditemukan dalam diskusi atau pemilihan narasumber/pembicara di media massa yang didominasi oleh lelaki. 

Nyatanya pada tahun 2018, Mardiyah Chamim, direktur Tempo Institute, menyatakan dari perbandingan 50:50 jenis kelamin penduduk Indonesia, hanya 11% total perempuan sebagai narasumber di media. Dalam studi sejarah misalnya, sejarawan perempuan hanya diletakan sebagai narasumber untuk topik-topik terkait hari perempuan seperti hari Kartini atau Hari Ibu 22 Desember. Padahal, sejarawan perempuan juga kredibel dalam membicarakan banyak hal seperti wabah, nasionalisme atau sejarah kedokteran sebagaimana sejarawan lelaki.

Seorang akademisi, sebut saja Z menyatakan bahwa protes-protes terkait all male panel itu seharusnya tidak perlu. Menurut Z, para feminis lebay dan tidak tahu betapa sulitnya mencari narasumber di media. Ungkapan Z mencerminkan betapa banal masyarakat terhadap budaya patriarki. 

Feminisme gelombang kedua yang hadir pasca Perang Dunia II muncul dari rahim akademisi dan banyak akademisi perempuan berupaya untuk membongkar ilmu pengetahuan yang selama ini didominasi lelaki ternyata amat maskulin. Judith Baxer dalam Positioning Gender in Discourse: A Feminist Methodology mengkritik bahwa kebanyakan metode dalam Ilmu pengetahuan yang selama ini dielu-elukan hanyalah prinsip akal sehat sehari-hari yang agak lebih sistematis. Prinsip-prinsip ini ternyata penuh dengan bias dan mendukung status quo. 

Para feminis percaya bahwa ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang dibentuk, bukan ditemukan begitu saja. oleh karena itu dibutuhkan perspektif pengalaman perempuan dalam menciptakan pengetahuan. Nyatanya, identitas jenis kelamin, warna kulit dan suku sangat berpengaruh dalam produksi pengetahuan yang selama ini dipuja-puja sebagai hal yang objektif dan netral. Kita terbiasa dengan ruang kelas, pengetahuan dan diskusi publik di mana identitas pembicara tidak diperhatikan, padahal identitas itu berpengaruh dalam pandangan dan pengetahuan yang dihasilkan. Ketika Z mengeluh bahwa para feminis terlalu banyak komplain, Z hanya berada dalam privilege nyamannya sebagai akademisi lelaki yang selalu diundang dan tidak berusaha menggunakan ilmu pengetahuan sebagai sesuatu yang kritis dan berpihak.

Upaya-upaya Mengakhiri Budaya Bro

Masalah budaya bro tidak hanya dimiliki oleh masyarakat Indonesia saja. Dr. Saara Särmä, peneliti Hubungan Internasional dari Universitas Tampere di Finlandia menyadari hal yang sama. Ia membuat akun Tumblr berjudul Congrats, You Have All Male Panels sebagai bentuk humor protes seksisme di dalam ilmu pengetahuan. Dengan maskot jempol David Hasselhoff yang mewakili budaya maskulin kulit putih tahun 70an, Dr. Särmä membuka sumbangan poster budaya bro dari seluruh dunia.

Di Indonesia keluhan kesulitan untuk mencari narasumber perempuan dijawab oleh lembaga Hivos dalam programnya bernama Women Unlimited. Bekerja sama dengan beberapa organisasi feminis di seluruh Indonesia untuk mengampu sebuah situs web bernama womenunlimited.id. Situs web tersebut berusaha menghimpun perempuan-perempuan yang ahli di bidangnya mulai dari agraria, pangan, sejarah, pendidikan, seni dan lain-lain hingga tidak ada lagi alasan dari wartawan ataupun meja redaksi untuk tidak menambah narasumber perempuan. 

Di sisi lain, para akademisi dan aktivis perempuan juga tidak berhenti bergerak dan berkonsolidasi. Olin Monteiro menjadi salah satu penggagas gerakan @ArtforWomen6 yang menjadi rumah bagi para seniman perempuan. Supaya perempuan tidak lagi menjadi objek seni melainkan subjek pembuat seni. Sebuah perpustakaan dan rumah diskusi Wani ta' baca didirikan oleh Faiza Mardzoeki di Yogyakarta sengaja untuk membaca karya-karya feminisme baik Indonesia maupun internasional. 

Di bidang akademisi, saya mengumpulkan sejarawan-sejarawan perempuan dengan perspektif feminisme yang selama ini tenggelam dalam dominasi sejarawan lelaki. Mengakhiri budaya bro harus dilakukan oleh semua pihak. Para perempuan dan aktivis harus memprotes all male panel. Bahwa seksisme dalam ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang usang dan harus digugat. Para perempuan dengan profesi tertentu harus berkonsolidasi dan saling memberikan referensi sementara wartawan, redaksi media dan penyelenggara diskusi, tidak boleh malas dalam mencari narasumber dengan identitas gender yang beragam. Sebab apa gunanya ilmu pengetahuan jika tidak membawa perubahan lebih baik bagi kondisi manusia dan alam?

 

 

@Nadyazura adalah essais dan pengamat masalah sosial.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Bagaimana  komentar Anda atas opini di atas? Silakan tulis dalam kolom komentar di bawah ini.