1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Menjadi Indonesia Bubar Atau Indonesia Emas?

26 Maret 2018

Setidaknya secara tersurat, tidak ada hal yang salah ketika Prabowo mengemukakan bahwa Indonesia terancam bubar pada tahun 2030 kelak. Sayangnya, retorika semacam itu sudah klise. Simak opini Rahadian Rundjan.

https://p.dw.com/p/2uuLu
Indonesien Wahlen Parlamentswahlen Präsidentschaftskandidat Prabowo Subianto
Foto: Reuters

Saya merasa, setidaknya secara tersurat, tidak ada hal yang salah ketika Prabowo Subianto, pemimpin Partai Gerindra dan pentolan kelompok oposisi pemerintahan Presiden Joko Widodo, mengemukakan bahwa Indonesia terancam bubar pada tahun 2030 kelak. Ketimpangan kepemilikan tanah, kesenjangan kemakmuran masyarakat, dan masalah lenyapnya kekayaan Indonesia ke tangan asing disebutnya akan menjadi sebab musabab bencana politik maha dahsyat tersebut. Dan kata seruan ‘Bung!' yang ia pakai sedikit banyak mengingatkan pada gaya retorik Sukarno yang berapi-api.

Sayangnya, retorika semacam itu sudah klise. Bahkan, lebih terlihat sebagai langkah panik dari oposisi yang tengah kehabisan akal dalam upaya meningkatkan daya tawar politiknya. Terlebih ketika pernyataan yang beratmosfir menegangkan tersebut ternyata dikutip dari sebuah karya fiksi; meskipun para penulisnya adalah pakar politik asal Amerika Serikat yang cukup mumpuni.

Rahadian Rundjan, Esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah
Penulis: Rahadian RundjanFoto: Rahadian Rundjan

Kemungkinan besar, sebelumnya kita tidak pernah mendengar nama Ghost Fleet, novel karangan P.W. Singer dan August Cole, yang menjadi rujukan pernyataan Prabowo akan nasib malang Indonesia 12 tahun mendatang tersebut, kecuali mungkin sebagian pakar politik internasional dan penggemar novel-novel politik dan sains-militer serupa di dalam negeri. Dari ulasan-ulasan yang saya temukan di internet, banyak yang membandingkan Ghost Fleet dengan novel-novel Tom Clancy, yang penuh trik-intrik politik internasional dan spionase militer.

Novel-novel Clancy terjual lebih dari 100 juta kopi ketika ia meninggal tahun 2013 silam. Clancy dikenal karena mampu mengombinasikan latar tegang Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet dan pengetahuan akuratnya akan teknologi militer untuk menghasilkan drama fiksi yang menggugah para pembaca, dan penikmat film-film adaptasinya. Sebut saja judul-judul seperti The Hunt for Red October (1984), Patriot Games (1987), Clear and Present Danger (1989), dan The Sum of All Fears (1991).

Mungkin bagi politisi, karya-karya fiksi Clancy dan Singer bukanlah fakta, namun ia tetaplah hal yang layak dilirik. Sebuah dokumen yang dipublikasikan lembaga arsip nasional Inggris tahun 2015 mengemukakan bahwa presiden ke-40 Amerika, Ronald Reagan, pernah merekomendasikan kepada Perdana Menteri Inggris, Margaret Thatcher, untuk membaca novel Clancy, Red Storm Rising (1986). Novel tersebut, yang secara fiktif menggambarkan perang antara negara-negara NATO dan Pakta Warsawa, sengaja Reagan rekomendasikan karena menurutnya memberikan gambaran yang cukup baik mengenai tabiat politik Soviet.

Baca juga:Benarkah Indonesia Akan Bubar di 2030?

Fiksi mengilhami politik

Novel-novel politik ala Clancy memang menampilkan potret realistis politik dalam balutan konflik fiksi. Reagan cukup berhasil mencerna hal tersebut untuk mengilhami visi politik luar negerinya yang terkenal agresif terhadap musuh-musuh Amerika. Namun masalahnya, glorifikasi dan retorika berlebihan terhadap skenario politik imajinatif dalam karya-karya fiksi tetap saja adalah sebuah kegegabahan, bahkan paranoid, terlebih jika dikemukakan dalam iklim politik dan opini publik yang tidak berpihak kepada pandangan orang tersebut.

Dalam hal itulah Reagan dan Prabowo berbeda. Reagan dan gaya komunikasinya yang keras terhadap Soviet melalui dukungannya terhadap karya-karya Clancy (yang bahkan diundangnya ke Gedung Putih) saat itu memang tengah dibutuhkan publik Amerika yang ingin mengakhiri ancaman Soviet. Karenanya, ketika Reagan mengemukakan retorika yang terinspirasi dari produk-produk budaya populer seperti "Star Wars” (sistem pertahanan roket Amerika) dan "Evil Empire” (frasa cemoohan untuk Soviet), hal itu terdengar wajar saja dan dapat diterima publik Amerika.

Sedangkan saat ini Prabowo seakan menakut-nakuti dan menebar pesimisme; terang saja karena wajah Indonesia saat ini adalah wajah pembangunan. Jokowi cukup berhasil mencitrakan Indonesia sebagai negara yang berpotensi melangkah lebih jauh dalam berbagai aspek di masa depan dengan serangkaian proyek pembangunannya, utamanya infrastruktur. Hal itu disambut optimis baik oleh masyarakat Indonesia maupun pakar di luar negeri. Sehingga, gagasan kegagalan monumental pembangunan Indonesia lebih terlihat sebagai nyinyir daripada ajakan untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap segala kemungkinan terburuk.

Dan ini bukan pertama kalinya Prabowo mengutarakan kekhawatirannya terhadap ancaman serupa, yang diilhami dari skenario fiksi. Allan Nairn, jurnalis Amerika, dalam salah satu tulisannya menyinggung bahwa pada 2001 Prabowo pernah menyinggungnya untuk membaca buku Special Forces: A Guided Tour of U.S. Army Special Forces yang ditulis oleh Clancy. Buku tersebut memuat skenario invasi Amerika terhadap Indonesia yang dipicu oleh huru-hara teroris di Maluku. Namun sampai saat ini, hal itu tidak pernah terjadi. Ancaman fiksi tinggalah fiksi.

Indonesia sebenarnya sudah pernah "bubar” setidaknya satu kali ketika negara-negara federal dalam Republik Indonesia Serikat (RIS) yang terbentuk pasca Perjanjian Meja Bundar tahun 1949 memutuskan untuk membubarkan diri dan membentuk negara kesatuan Indonesia pada 1950, yang masih bertahan sampai saat ini. Namun, pembubaran tersebut lebih mirip reorganisasi struktural daripada perceraian politik seperti yang dialami Yugoslavia dan Uni Soviet.

Lantas, apakah Indonesia akan bubar sepenuhnya pada 2030? Saya sudah cukup banyak membaca kisah-kisah fiksi populer yang menyiratkan muramnya masa depan Indonesia (atau negara-negara lain yang kalah bersaing secara global) untuk mengatakan hal tersebut adalah sebuah kemungkinan tak terbatas. Namun, tidak bijak untuk mempolitisir isu tersebut secara tendensius, terlebih jika tidak ada kajian serius dan kritik mendalam mengenai faktor-faktor yang berpotensi menyebabkan pembubaran tersebut.

Jika ada yang perlu dikhawatirkan dari tahun 2030 maka itu adalah beban-beban prediksi positif yang diterbitkan lembaga-lembaga think tank internasional yang tak ayal menjadi ujian bagi keseriusan kita dalam melaksanakan pembangunan. Lembaga audit PricewaterhouseCoopers (PwC) memprediksi Indonesia akan menjadi kekuatan ekonomi terbesar ke-5 di dunia, sedangkan McKinsey Global Institute memberikan peringkat ke-7. Lantas, untuk menggapai beban berat tersebut masih perlukah kita untuk mempersulit diri sendiri dengan kecemasan-kecemasan yang rasionalitasnya minim?

Antara kecemasan dan keemasan

Menurut saya, yang paling berbahaya dari masa depan adalah ketidaksiapan dalam menyambutnya. Para peneliti telah memaparkan bahwa Indonesia akan mencapai puncak bonus demografi pada 2030. Di tahun yang sama, diperkirakan 2.000 pulau di Indonesia akan tenggelam akibat dampak perubahan iklim. Indonesia juga kini terikat dalam kesepakatan Agenda Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) yang dicanangkan oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) untuk memberantas kemiskinan dan melestarikan lingkungan, dengan tahun 2030 sebagai target penyelesaian program-programnya.

Dengan kata lain, memang akan terjadi sesuatu yang cukup berbahaya pada 2030 nanti jika kita tidak mempersiapkan diri dari sekarang. Perbedaannya, 2030 hadir sebagai tenggat waktu nyata berlandaskan kepada kajian-kajian ilmiah, yang saya yakin jauh lebih komprehensif daripada sekedar novel-novel fiksi yang tujuan utamanya untuk menghibur pembaca, bukan untuk secara substansial mendikte kebijakan publik.

Kesimpulannya, kini sebaiknya kita menyambut rencana Indonesia Emas (perayaan seabad Indonesia) pada 2045 nanti dengan hasil kerja nyata yang dibalut dengan optimisme, bukan dengan menghamba pada ketakutan dan pesimisme yang ditularkan dari skenario-skenario fiktif.

Penulis: Rahadian Rundjan (ap/vlz)

Esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah

@RahadianRundjan

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis