1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Meningkatnya Intoleransi Ancam Kaum LGBT

11 Oktober 2016

Nasib kaum LGBT menjadi parameter situasi Hak Azasi Manusia di Indonesia. Kuatnya pengaruh kelompok intoleran perlahan memupus wajah plural kaum beragama di tanah air. Yogyakarta menjadi contoh pahit.

https://p.dw.com/p/2R6sm
Anti -LGBT Banner Indonesien
Foto: picture-alliance/AP Photo/T.Syuflana

Hingga beberapa bulan silam pesantren Al-Fatah menjadi simbol toleransi Indonesia. Selama bertahun-tahun lembaga pendidikan tersebut mencatatkan diri sebagai satu-satunya pesantren khusus untuk kaum transgender di dunia. Tapi sejak gelombang antipati terhadap kaum LGBT menguat beberapa waktu silam, pesantren tersebut dipaksa tutup oleh kelompok radikal.

Kendati begitu sekelompok kecil mantan santri al-Fatah diam-diam masih berkumpul di sekolah tersebut untuk belajar ilmu agama. "Kami ingin membuktikan bahwa Islam menerima kaum transgender, bahwa Islam merupakah rahmat untuk semua manusia," ujar Shinta Ratri kepada AFP.

"Sayangnya dalam beberapa tahun terakhir kelompok-kelompok intoleran berhasil memaksakan keyakinan mereka kepada penduduk," ujar Agnes Dwi Rusjiyati, seorang koordinator untuk LSM Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika.

Pesantren Al-Fatah yang berdiri di antara himpitan perumahan kecil di Kotagede, Yogyakarta, masih beraktivitas meski tidak seramai dulu. "Sangat sulit untuk kaum transgender agar bisa melakukan ibadah sholat berjamaah di Masjid karena stigma umum," keluh Arif Nuh Safri, salah seorang tenaga pengajar di al-Fattah.

Indonesien LGBT Marsch
Foto: picture-alliance/NurPhoto/A. Rudianto

Hak Beribadah

"Jadi ketika datang ke pesantren ini, hal pertama yang saya katakan kepada mereka adalah hak mereka untuk beribadah, karena mereka adalah mahluk ciptaan Allah."

Santri Al-Fatah tidak melawan ketika aparat pemerintah menyegel rumah yang disulap menjadi asrama dan sekolah itu. "Mereka ingin belajar membaca Al-Quran, mereka ingin menjadi orang baik. Itu kan lebih baik ketimbang mabuk," kata salah seorang tetangga, Aris Sutanto.

Tapi Abdurrahman, ketua Front Jihad Islam, berpendapat lain. "Kita tidak bisa toleran terhadap sesuatu yang buruk," ujarnya sembari menambahkan bahwa kelompoknya selalu berkoordinasi dengan polisi sebelum beraksi.

April silam aparat kepolisian bersama sejumlah organisasi massa yang mengatasnamakan Islam membubarkan acara Lady Fast 2016, sebuah festival seni untuk perempuan transgender. Yogyakarta yang dulu menyandang predikat kota toleran perlahan mulai bergeser semakin ke kanan.

Ahmad Suaedy, anggota Ombudsman RI, mengkritik kepolisian dan otoritas kota karena gagal menghentikan tindak intoleran yang merugikan kaum minoritas. "Ini seperti strategi politik supaya politisi bisa mencitrakan diri membela mayoritas," ujarnya," tapi dengan mengorbankan kelompok minoritas."

rzn/yf (afp,tempo,cnnindonesia)